Kinerja Sektor Keuangan di Tengah Ketidakpastian Global

Kolom

Kinerja Sektor Keuangan di Tengah Ketidakpastian Global

Abdul Mongid - detikFinance
Sabtu, 10 Des 2022 20:48 WIB
Ilustrasi rasio keuangan.
Ilustrasi/Foto: Markus Winkler/Unsplash
Jakarta -

Di tengah perkembangan ekonomi global yang begitu negatif sebagai konsekuensi terbelahnya dunia dalam blok geopolitik, perang dagang, perang Rusia Ukraina dan belum kembalinya ekonomi pasca pandemi, ternyata kinerja sektor keuangan Indonesia sangat baik dan telah mendukung semangat bersama untuk Pulih Bersama, Bangkit Perkasa (Recover Together, Recover Stronger).

Dewan Komisioner (DK) OJK juga menilai stabilitas sektor jasa keuangan Indonesia masih tetap terjaga dengan baik. Bahkan yang lebih menggembirakan adalah kinerja intermediasi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) konsisten tumbuh meningkat. Artinya sektor keuangan masih terus tumbuh karena masyarakat memiliki kemampuan untuk menyerapnya.

Intermediasi yang meningkat mencerminkan dua indikasi penting yaitu terjadinya keseimbangan penawaran dan permintaan yang secara implisit berarti masih sehatnya perekonomian nasional. Perkembangan ini tentu memberi kontribusi positif pada meningkatnya kinerja perekonomian nasional. Mengingat perekonomian secara global sedang dalam posisi tertekan tentu saja adalah suatu prestasi besar ketika sektor keuangan Indonesia masih tumbuh dan stabil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai negara dimana peran bank dalam pembiayaan sangat dominan, tentu saja kinerja kredit harus menjadi perhatian utama. Berdasarkan data terbaru, kredit perbankan pada Oktober 2022 tumbuh secara tahunan mencapai 11,95 persen.

Coba kita bandingkan dengan Kawasan Euro yang pada saat bersamaan mereka mengalami pertumbuhan negatif 5 persen. Seperti diketahui Kawasan Euro saat ini merupakan kawasan yang paling terdampak dengan perkembangan negatif geopolitik khususnya dengan perang Ukraina -Rusia. Pertubuhan positif intermediasi nasional utamanya ditopang oleh kredit investasi yang tumbuh secara tahunan sebesar 13,65 persen sebagai sinyal keyakinan pebisnis akan prospek baik ekonomi nasional. Secara nominal kredit perbankan tumbuh sebesar Rp58,61 triliun menjadi Rp6.333,51 triliun.

ADVERTISEMENT

Kunci untuk terus dapat mempertahankan intermediasi yang positif terletak pada dua hal. Pertama yaitu perkembangan ekonomi nasional harus dipacu agar terus positif. Walaupun saat ini banyak yang menyatakan bahwa ekonomi Indonesia akan berisiko mengalami Resesi di tahun 2023, namun sebaiknya kita tidak boleh terlalu fokus pada isu ini. Indonesia memiliki modal ekonomi dan sosial yang cukup besar untuk terhindar dari risiko terjadinya Resesi yang parah. Jumlah penduduk muda produktif yang dominan, kreativitas masyarakat yang luar biasa serta kemampuan untuk bertahan dalam kondisi yang buruk merupakan modal penting yang dapat membuat Indonesia terhindar dari risiko Resesi.

Saat ini isu penting yang selalu mengedepan dan menjadi perhatian publik adalah perubahan nilai tukar yang cenderung terus melemah sebagai akibat dari kebijakan The Fed, Bank sentral Amerika Serikat, yang terus menaikan suku bunga diskontonya. Akibatnya terjadi pelarian modal yang signifikan dari negara emerging market. Imbasnya hampir semua negara mata uangnya melemah terhadap dolar. Indonesia tidak terlepas dari itu.

Perbankan rawan akan risiko perubahan nilai tukar. Namun data menunjukan sebaliknya. Indikator risiko nilai tukar perbankan yang diukur dengan Posisi Devisa Neto (PDN) pada Oktober 2022 tercatat sebesar 2,01 persen. Ketentuan tentang PDN adalah 20 persen dari modal. Dengan keadaan ini maka kekuatiran akan adanya problem yang berasal dari melemahnya rupiah terhadap dolar otomatis tertepis dengan sendirinya. Ini tentu "buah" dari himbauan yang tiada henti dari OJK agar bank selalu berhati hati dalam mengelola risiko terkait nilai tukar.

Secara umum boleh dikatakan kondisi perbankan nasional masih dalam keadaan yang baik dan sustainable. Apalagi kalau dilihat dari sisi kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) industri Perbankan yang menurut data terakhir mencapai 25,13 persen. Dengan posisi permodalan dan kinerja intermediasi yang positif serta risiko kredit yang masih dalam batas wajar maka dapat dipastikan perbankan nasional siap untuk menyongsong 2023 dengan optimisme dan keyakinan diri sebagai pilar penyangga ekonomi nasional yang handal.

Yang kedua, tentu masalah suku bunga. Perang melawan inflasi yang terjadi di Amerika tampaknya juga diikuti juga oleh bank sentral di seluruh dunia. Bank Indonesia (BI) juga terpaksa melakukan hal yang sama dengan menaikkan suku bunga. Sebagai negara emerging market dimana dana asing cukup penting di dalam mempengaruhi likuiditas perekonomian, maka kebijakan BI menaikkan suku bunga bukan sekedar untuk mengatasi inflasi. Inflasi bukan masalah yang utama sebenarnya. Masalah utamanya menjaga jangan sampai imbal hasil antara US Dollar dan rupiah menjadi begitu sejauh sehingga menyebabkan terjadinya pelarian dana ke dalam US dollar. Sekarang problemnya adalah menjaga keseimbangan yang tepat jangan sampai kebijakan menaikan suku bunga membuat ekonomi riil mengalami kesulitan. Karena itu BI perlu melihat implikasi suku bunga tinggi agar tidak terjadi adverse effect atas kebijakanya.

Di halaman berikutnya soal adverse effect. Langsung klik

Stabilitas sektor jasa keuangan saat ini terjaga harus dipertahankan dengan upaya yang serius khususnya melalui koordinasi antar otoritas. Tidak boleh ada ego sektoral yang berlebihan. Semua wajib berkurban dengan koordinasi kepemimpinan nasional. Kenapa ini penting dilakukan?. Karena risiko yang akan dihadapi bukan berkurang. Semua pelaku ekonomi baik industri, konsumen, investor maupun otoritas harus menyadari sektor keuangan adalah sector pertama yang akan menjadi korban ketika perekonomian mengalami kemunduran.

Sektor keuangan juga dapat menjadi korban pertama jika kebijakan ekonomi yang diambil ternyata menimbulkan dampak negatif. Dampak buruk kebijakan demikian dalam ekonomi disebut adverse effects. Risiko terjadinya adverse effect saat ini sangat besar karena kompleksitas tekanan yang dihadapi ekonomi domestic apalagi ekonomi global.

Pada level nasional, Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan harus dapat menjadi pencegah Adverse Effect kebijakan di level nasional. Namun spillover dari kebijakan yang terjadi di level internasional perlu diperhatikan dan dimitigasi terutama terkait dengan kebijakan normalisasi global, ketidakpastian kondisi geopolitik, serta laju inflasi yang tinggi.

Strategi ekonomi jangka panjang berupa hilirisasi berbagai produk yang berasal dari sumber daya alam (SDA) disertai dengan perkembangan industrialisasi harus dilakukan. Artinya sebagai negara dengan sumber tambang, hilirisasi akan menjadi fondasi bagi perekonomian nasional yang makin kuat. Besarnya ekspor batubara, aluminium dan minyak sawit menunjukan kepemilikan modal yang kuat untuk menghindar dari resesi.

Lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan bahwa Indonesia akan terbebas dari resiko Resesi. Karena itu sebaiknya kita mengurangi diskusi tentang risiko Resesi karena ini bisa menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Namun tetap waspada dan menjaga kebijakan ekonomi yang berhati hati (prudent), transparan, konsisten dan berintegritas wajib terus dilakukan. Kalau terjadi, mungkin kita hanya resensi "mild" alias ringan.

Risiko terjadinya adverse effect saat ini akan banyak berasal dari internasional diantaranya masih berkecamuknya perang antara Rusia dan Ukraina yang melahirkan kebijakan sanksi yang dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia. Konsekuensinya adalah harga minyak yang terus meningkat karena Rusia adalah salah satu negara produsen minyak terbesar di dunia. Rusia juga negara dengan penghasil sepertiga dari gandum dunia. Kebijakan Cina berupa Zero tolerance terhadap Covid telah menimbulkan problem bisnis yang besar. Mengingat Cina adalah pusat pabrik dunia maka punya dampak pada produksi industri global.


Abdul Mongid
Senior Economist pada Segara Economic Institute
Guru Besar UHW Perbanas Surabaya

Halaman 2 dari 2
(hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads