Sederet Penyebab Ekonomi Global Suram dan Dampaknya ke Indonesia

Sederet Penyebab Ekonomi Global Suram dan Dampaknya ke Indonesia

Almadinah Putri Brilian - detikFinance
Kamis, 22 Des 2022 15:50 WIB
Suasana Gedung-gedung bertingkat di kawasan Jakarta, Sabtu (10/1/2015). Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2015 sebesar 5,6 persen.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Penyebab awal pemicu kondisi ekonomi global berawal dari pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia. Dampaknya, mengubah secara total dan mendasar struktur serta sifat perekonomian global dan Indonesia. Bahkan ekonomi dunia anjlok -3,1% karena adanya gangguan dari sisi permintaan dan suplai.

Hal ini disampaikan oleh Dosen Institute Pertanian Bogor (IPB) Eisha M Rachbini dalam Seminar Evaluasi Ekonomi Akhir Tahun di Universitas Paramadina, Selasa (20/12/2022).

Salah satu akibat dari pandemi COVID-19, di kawasan Asia Pasifik, kesempatan kerja turun 3,2% (yoy) atau sekitar 61.8 juta orang yang kehilangan pekerjaan. Pengangguran di negara-negara G20 juga cukup tinggi, rata-rata 8,5% di tahun 2020, lebih tinggi dari tahun sebelumnya 7,2%. Pada tahun 2021, pengangguran di negara-negara ini sekitar 7,9% dan diperkirakan menurun tahun 2022 sekitar 6,97%.

Sementara di Indonesia, sekitar 29,1 juta orang terkena dampak dari covid-19 atau sekitar 14,3% dari total populasi angkatan kerja (2020). Dampak ini berpengaruh pada tahun berikutnya di 2021 dan 2022.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain pandemi COVID-19, terjadinya perang di kawasan Eropa dan Rusia turut memperparah ketidakpastian ekonomi global yang berakibat pada kelangkaan pangan dan energi.

"Salah satu risiko besar yang menjadi ancaman stabilitas ekonomi global adalah krisis energi akibat tren peningkatan harga komoditas energi dunia. Harga minyak mentah dan gas alam meningkat lebih tinggi dibandingkan level awal tahun 2022," kata Eisha, dikutip dari keterangan tertulis (22/12/2022).

ADVERTISEMENT

Selain itu, The Fed mengambil kebijakan menaikkan suku bunga acuan dengan melakukan kebijakan quantitative easing (suku bunga rendah) untuk menjaga pertumbuhan dan tingkat pengangguran yang rendah di Amerika Serikat. Ketika AS menaikkan suku bunga, tentunya akan berdampak pada perekonomian Indonesia terutama dari sisi nilai tukar, inflasi yang tinggi karena kenaikan harga pangan dan energi.

Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik pada kuartal III dan kuartal IV berada di level 5,45% dan 5,72% (yoy). "Pertumbuhan ekonomi 2022 menurut pengeluaran didorong oleh ekspor dan konsumsi rumah tangga. Tetapi pengeluaran pemerintah justru mengalami pertumbuhan negatif (yoy) pada kuartal II dan kuartal III 2022," tutur Eisha.

Dari sisi lapangan usaha, Eisha melihat kinerja sektoral mengalami pertumbuhan pada kuartal II dan kuartal III 2022, terutama pada sektor transportasi & pergudangan, akomodasi, makanan & minuman, industri pengolahan, informasi dan komunikasi.

Dari sisi inflasi sendiri masih bisa dikendalikan walaupun inflasi 2022 lebih tinggi dibandingkan inflasi 2021. Adapun penyumbang utama inflasi tahunan yaitu komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga,dan tarif angkutan udara. Per November 2022, penyumbang utama inflasi bulanan yaitu komoditas telur ayam ras, rokok kretek filter, dan tomat.

Sementara itu, terjadi penurunan tren Global Purchasing Managers' Index (PMI). Pada Oktober 2022, global PMI manufaktur mencapai 49,4 point, menurun dari yang sebelumnya 49,8 point di bulan September. Menurunnya PMI mengindikasikan perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh melemahnya permintaan dunia.

"Melemahnya permintaan global menjadi tantangan bagi kinerja industri dan investasi di dalam negeri. Inflasi yang tinggi juga menjadi ancaman pada peningkatan biaya produksi," tutur Eisha.

Dalam paparannya, Eisha menyebutkan pertumbuhan investasi tidak disertai dengan laju pertumbuhan industri pengolahan yang juga tinggi. Seperti pada triwulan III 2022, pertumbuhan investasi mampu mencapai 42,1% (yoy), namun industri pengolahan (non migas) hanya tumbuh 4,88% dan masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

"Usaha mengarahkan investasi agar semakin banyak masuk ke sektor manufaktur menjadi tantangan besar bagi proses industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam strategis," ucapnya.

Eisha juga mengatakan, terdapat tantangan yang cukup besar dari sektor industri untuk menjadi pusat pertumbuhan kembali. "Pada 2021 - 2022 porsi sektor manufaktur menjadi penyumbang bagi PDB menurun menjadi hanya 20%-an saja, padahal sebelum pandemi bisa mendekati 30%," ungkapnya.

Menurutnya, tantangan sektor riil saat ini yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bisa memberi nilai tambah untuk mencapai target 2045. "Perlu didorong investasi dalam dan luar negeri untuk meningkatkan kemampuan sektor riil. Seharusnya semakin banyak investasi masuk, akan semakin menambah nilai tambah lebih besar bagi sektor manufaktur dan akhirnya menaikkan kontribusi ke PDB," ujarnya.



Simak Video "Video Kabar Buruk dari Sri Mulyani Tentang Ekonomi Global"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads