Resesi Mengancam Dunia Tahun Depan, Nasib RI Gimana?

Resesi Mengancam Dunia Tahun Depan, Nasib RI Gimana?

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Sabtu, 31 Des 2022 14:31 WIB
BPS telah resmi mengumumkan data pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2021. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 3,51% secara year on year (yoy).
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Awan gelap resesi menyelimuti perekonomian dunia di 2023. Meski perekonomian Indonesia disebut-sebut tidak akan terlalu terdampak, namun para pengamat ekonomi tetap mewanti-wanti untuk tetap waspada.

Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Brawijaya (FEB UB), Candra Fajri Ananda berpendapat, resesi tetap perlu diwaspadai meski perekonomian Indonesia relatif less connected dengan perekonomian global.

"Keterkaitan dan dampak perekonomian global terhadap perekonomian Indonesia pun tak bisa dipandang remeh, terutama dalam jalur ekspor-impor dan jalur aliran modal asing," ujar Candra, dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (31/12/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, resesi akan mengancam sektor perekonomian yang terintegrasi antar negara. Apabila pelemahan aktivitas perdagangan di negara maju terjadi, bisa mempengaruhi perdagangan di negara berkembang yang ekonominya bergantung pada ekspor-impor. "Sebaliknya, perekonomian Indonesia yang mengandalkan pasar domestik akan cukup kuat meski dunia terancam resesi pada 2023," kata Candra.

Candra mengatakan, ada beberapa sektor yang dapat diandalkan pemerintah untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi, di antaranya adalah sektor UMKM, pariwisata, hingga sektor industri pengolahan tembakau.

ADVERTISEMENT

"Dalam mendukung berbagai sektor tersebut, sisi keuangan dan perbankan nasional serta investasi juga perlu dijaga untuk dapat mendukung iklim usaha dalam aktivitas ekonomi," katanya.

Sementara itu, Pengamat ekonomi pariwisata, Aang Afandi mengatakan, kinerja kualitatif yang menonjol pada sektor pariwisata tahun ini salah satunya terlihat dari keberhasilan gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali.

Untuk ke depannya, Aang mengatakan, ada sejumlah tantangan di sektor pariwisata. Pertama, harga tiket transportasi yang meningkat, seperti pesawat akibat adanya kenaikan harga bahan bakar (avtur).

Kemudian yang kedua, menjaga keseimbangan antara pariwisata berbasis kapital dan komunitas yang harus diawali dengan peningkatan kapasitas SDM (utamanya di pedesaan, misalnya di Kuta Mandalika).

"Ketiga, regulasi Visa. Keempat, implementasi Green and Sustainability Tourism (included circular economic for tourism). Dan kelima, sinergi Pariwisata dan Ekonomi kreatif," ujar Aang.

Sementara untuk sektor UMKM, Peneliti PPKE FEB UB, Joko Budi Santoso mengatakan, UMKM Indonesia memiliki peran strategis dalam membentuk fondasi kokoh perekonomian Indonesia dan telah terbukti tahan badai dan guncangan ekonomi.

Dengan jumlah UMKM yang mencapai Β±65 juta unit atau sekitar 99% dari jumlah usaha yang ada di Indonesia, menurutnya, UMKM mampu berkontribusi pada PDB sekitar 60%, dan menyerap 96% angkatan kerja.

Joko menyebutkan, ada beberapa poin yang perlu dilakukan dalam penguatan UMKM, yang pertama penguatan permodalan melalui KUR, atau mengkolaborasikan pembiayaan madani seperti bank wakaf, Baznas, dan lembaga pembiayaan lainnya.

Kedua, insentif fiskal seperti Pajak Penghasilan Final (PPh) UMKM ditanggung pemerintah, Penempatan dana/penempatan uang negara, dan pembiayaan investasi perlu terus dijaga keberlanjutannya. Ketiga, penguatan kolaborasi dengan market place, fasilitasi sertifikasi halal maupun perijinan usaha mutlak terus dilakukan secara berkelanjutan.

Kemudian yang keempat, penguatan UMKM model kluster. Hal ini akan memudahkan dan meningkatkan daya tawar dalam memperoleh bahan baku dan pemasaran, serta pengawasan dan pembinaan. Kelima, pemerintah daerah juga harus memperkuat linkage antara sektor pertanian dengan UMKM. Pasalnya, sebagian besar UMKM bergerak di F&B.

"Hal penting lagi adalah kearifan lokal (local wisdom) dan budaya di masyarakat sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan publik," ujar Joko.

Sementara untuk Industri Hasil Tembakau (IHT), Peneliti PPKE FEB UB, Imanina Eka Dalilah berpandangan, industri ini memiliki kontribusi yang besar bagi ekonomi RI karena merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.

Sayangnya, IHT tengah menghadapi berbagai tantangan di antaranya kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terjadi hampir setiap tahunnya. Menurut Imanina, regulasi kenaikan tarif cukai yang selama ini berlaku justru lebih banyak menyebabkan trade off, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang eksesif setiap tahunnya.

"Lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok secara umum," terangnya.

Tidak hanya itu, di 2023 pemerintah juga akan memberlakukan aturan baru tentang larangan penjualan rokok ketengan. Menurutnya, hal ini akan semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal.

"Kenaikan tarif cukai yang terus terjadi di setiap tahunnya telah banyak berdampak bagi keberlangsungan IHT. Tekanan yang dihadapi IHT melalui berbagai regulasi yang ada pada akhirnya mendorong kian maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia," terangnya.


Hide Ads