Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memberikan respon atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Poin utama yang paling disoroti yaitu menyangkut formula Upah Minimum (UM) dan sistem tenaga alih daya atau outsourcing.
Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani mengatakan, pihaknya secara khusus mencermati klaster ketenagakerjaan dalam substansi Perppu tersebut. Poin yang paling disorotinya ialah menyangkut formula perhitungan Upah Minimum (UM) dan pengaturan alih daya.
Hariyadi khawatir, penerapan Perppu Cipta Kerja ini justru akan mengganggu fungsi sesungguhnya dari UM yang merupakan jaring pengaman sosial. Pasalnya, kenaikannya ini justru diprediksikan bisa menurunkan penyerapan tenaga kerja.
"Perppu ini merubah yang paling substasional yaitu mengenai upah minimum da alih daya. Kalau mengikuti seperti Permrnaker 18, saya mengandaikan, andaikata tetap seperti itu di mana inflasi ditambahkan pertumbuhan ekonomi dikalikan indeks tertentu. Ini sebetulnya malah akan menyusutkan tenaga kerja," ujar Hariyadi, di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Selasa (03/01/2022).
Lebih lanjut, Anggota Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Apindo, Susanto Haryono menjelaskan, formula baru yang tercantum dalam pasal 88D ini, saat ini ditambahkan variable indeks tertentu. Ia menyampaikan, formula perhitungan UM yang menggabungkan variable pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, akan memberatkan dunia usaha.
Tidak hanya itu, Susanto mengatakan, pemerintah juga menambahkan pasal baru yaitu pasal 88F dalam Perppu tersebut. Isinya ialah, pemerintah dapat menetapkan formula UM yang berbeda dengan formula yang ditetapkan pada pasal 88D dalam keadaan tertentu.
"Yang kita highlight, jangan sampai menggebu-gebu hanya di upah minum untuk mendongkrak daya beli dan sebagainya," kata Santo.
Dalam hal ini, menurut proyeksi Apindo, formula tersebut juga akan menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja. Salah satu alasannya ialah, UM RI berpotensi menjadi yang tertinggi di ASEAN dalam 5 tahun mendatang.
Dalam hal ini, Susanto menyebut, sebelum Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2021 belum diberlakukan, rata-rata kenaikan upah dari 2015 hingga 2020 sudah mencapai 9,73%, paling tinggi di antara yang terjadi di Thailand, Vietnam dan Malaysia. Diproyeksikan pada 2025, UM RI akan menjadi yang tertinggi di ASEAN.
"Pemerintah melibatkan segenap pihak. Sehingga dalam implementasi ya tidak menjadi kontraproduktif dari apa yang diharapkan. Penting untuk melibatkan (stakehloder)," ujar Susanto.
Berikutnya mengenai perihal alih daya. Susanto mengatakan, pihaknya menggarisbawahi beberapa perubahan, terutama dalam pasal 64 menyangkut tenaga kerja alih daya atau outsourcing. Sebelumnya, pasal tersebut telah dihapus dalam UU Cipta Kerja. Namun di Perppu ini, aturan tersebut dimunculkan kembali.
"Industri 4.0 terdapat banyak skil-skil baru. Outsourcing bukan untuk mencari pekerja murah tetapi pekerja terampil," ujar Susanto.
Susanto mengatakan, pihaknya mengusulkan, dalam penyusunan aturan turunan menyangkut hal ini nantinya, jangan sampai pembatasan ini nantinya bersifat nama pekerjaan. Tetapi, bagaimana sifat-sifat dari pekerjaan tersebutlah yang menjadi dasar perusahaan melakukan alih daya.
Kembali ke Hariyadi, dia menekankan, tenaga alih daya ini bukan ditujukan untuk marginalisasi kalangan tertentu. Justru menurutnya, hal ini membuka peluang kerja baru. Menurutnya, outsourcing ini menjadi salah satu batu loncatan bagi snag pekerja.
"Alihdaya itu perantara di mana dia masuk sebagai alih daya, yang nantinya dia akan dapat mendapat pekerjaan yang lebih baik," ujar Hariyadi.
Dengan adanya aturan baru ini, harapannya dalam pembahasannya secara lebih detail saat pembentukan peraturan pemerintah nantinya, Hariyadi berharap pihaknya dapat dilibatkan.
Simak Video "Perppu Ciptaker Tuai Pro-Kontra, Jokowi: Semua Bisa Kita Jelaskan"
(zlf/zlf)