Jakarta -
Tahun 2023 dinilai bakal menjadi tahun yang penuh ujian. Ekonom pun memberikan sederet catatan bagi pemerintah dalam mengarungi tahun 2023.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sebelum mengatakan tahun 2023 bakal jadi tahun yang berat untuk ekonomi global dan dalam negeri. Jokowi mengingatkan untuk terus berhati-hati menghadapi ekonomi di tahun ini.
"Di tahun 2023 ini adalah tahun ujian bagi ekonomi global dan ekonomi kita. Kita harus hati-hati dan waspada," kata Jokowi saat membuka perdagangan pertama di Bursa Efek Indonesia tahun 2023 yang disiarkan virtual, Senin (2/1/2023) yang lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu apa saja catatan yang mesti diperhatikan di tahun 2023?
1. Hati-hati Tambah Utang
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menyoroti soal utang pemerintah yang terus membengkak. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah tahun ini.
Menurutnya, di masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, utang pemerintah terus menerus meningkat. Dari data yang dipaparkan Didik memperlihatkan utang pemerintah terus menerus meningkat sejak 2014, di tahun tersebut utang pemerintah tercatat Rp 2.608,78 triliun dan di November 2022 mencapai Rp 7.554,25 triliun.
"Tahun 2014 itu utang posisinya cuma Rp 2.600-an (triliun), ini SBY dihajar habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasanya. Utang itu sampai November 2022 itu sudah Rp 7.500-an triliun," papar Didik dalam Catatan Awal Tahun Indef 2023 yang disiarkan virtual, Kamis (5/1/2023).
Didik menilai bisa saja Jokowi akan mewariskan utang belasan ribu triliun kepada pemimpin-pemimpin berikutnya. Pasalnya, tahun depan kepemimpinan Indonesia akan berganti.
"Itu Rp 7.500 triliun kalau ditambah BUMN Rp 2.000-3.000 triliun jadi mungkin belasan ribu triliun utang yang diwariskan pada pemimpin yang akan datang. Saya banyak teriak soal ini banyak tidak diperhatikan," sebut Didik.
Didik menilai hal ini terjadi karena buruknya sistem politik di Indonesia, sehingga perencanaan keuangan negara menjadi sangat buruk.
Dia menyatakan ekonomi dan politik sebetulnya tidak bisa dipisahkan. Yang jadi masalah adalah adanya kemunduran pada dunia politik di Indonesia, terlalu banyak kongkalikong yang membuat fungsi check and balance di DPR menjadi sangat lemah.
"Ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang pemerintah meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi," tegas Didik.
Catatan yang kedua tekankan terhadap sektor industri disebut kurang 'otak'. Baca di halaman berikutnya.
2. Perbanyak Investasi 'Otak'
Ekonom senior Indef lainnya, Faisal Basri menyoroti sektor industri di Indonesia terus menerus mengalami kemunduran. Dia menyatakan salah satu penyebabnya adalah kurangnya inovasi pada industri di Indonesia.
Faisal Basri menyebutkan selama ini sektor industri di Indonesia mendapatkan investasi yang besar, namun kualitasnya kurang. Sejauh ini investasi yang masuk hanya dalam bentuk otot bukan dalam otak. Maksudnya, investasi yang masuk masih sangat kurang untuk urusan inovasi, misalnya untuk riset dan pengembangan.
Maka dari itu, ada baiknya investasi soal riset, pengembangan, dan teknik bisa lebih banyak dilakukan di Indonesia agar sektor industri bisa tumbuh kembali.
"Investasi yang masuk ini kebanyakan otot, ya itu yang berhubungan dengan fisik. Berupa konstruksi dan bangunan. Seharusnya, investasi otak yang berupa investasi di bidang IT, juga riset dan pengembangan," papar Faisal Basri dalam acara yang sama.
Data Asia Productivity Organization pada tahun 2022 menyebutkan kebanyakan investasi yang masuk ke Indonesia adalah untuk bangunan dan konstruksi, jumlahnya mencapai 83%. Kemudian, 10% lainnya adalah investasi di berbagai hal selain teknologi informasi (IT), lalu 4%-nya lagi digunakan untuk investasi IT.
Sementara itu 3% sisanya adalah untuk investasi alat transportasi. Tidak ada satu persen pun investasi yang digunakan untuk urusan riset dan pengembangan.
Data yang lain menunjukkan persentase pengeluaran riset dan pengembangan di Indonesia juga sangat rendah bila dibandingkan PDB. Data World Bank menunjukkan pengeluaran riset dan pengembangan di Indonesia cuma mencapai 0,28% dari PDB.
Padahal standar pengeluaran biaya riset dan pengembangan di negara yang masuk ke dalam kelas pendapatan menengah ke bawah saja mencapai 0,53% dari PDB. Tercatat, cuma Myanmar saja yang pengeluaran riset dan pengembangannya masih di bawah dari Indonesia yaitu sebesar 0,15% dari PDB.
"Semakin besar investasi yang masuk ini malah mendorong pertumbuhan yang tak berkualitas. Investasi yang didengungkan itu sekedar bikin IKN, LRT, Kereta Cepat. Padahal harusnya ada investasi otak, IT capital dan R and D, karena itu yang dukung sustainability pertumbuhan industri itu," kata Faisal Basri.
Pemerintah juga diminta untuk mewaspadai oligarki di tahun politik. Apa maksudnya? Baca di halaman berikutnya.
3. Waspada Oligarki di Tahun Politik
Didin Damanhuri, ekonom senior Indef lainnya, mengingatkan soal ancaman oligarki ekonomi yang mulai bergerak di tahun-tahun politik. Seperti diketahui tahun depan pemilihan umum akan berlangsung, umumnya tahun politik bakal berlangsung setahun sebelum pemilu.
Menurutnya, oligarki ekonomi dapat membuat kemunduran demokrasi dan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Dia menyoroti fenomena banyaknya oligarki ekonomi yang tumbuh subur karena dibiarkan menjadi investor di balik agenda-agenda politik pada pemilihan umum.
"Oligarki ekonomi makin subur karena mereka dibiarkan jadi investor politik di semua tingkatan. Apakah Pilkada, Pilgub, sampai Pilpres," ungkap Didin dalam acara yang sama.
Didin mengungkapkan beberapa gerak-gerik oligarki ekonomi di Indonesia. Yang paling kelihatan adalah saat sejumlah Undang-undang yang pengesahannya nampak di luar prosedur. Beberapa diantaranya yakni UU Minerba, KPK, Cipta Kerja, MK, Ibu Kota Negara (IKN) baru, Hukum Pidana, dan terakhir Perppu Ciptaker.
"Menurut saya lahirnya regulasi ini sebagai bukti bekerjanya fenomena oligarki karena proses legislasi mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik yang diminta UU sendiri," jelas Didin.