Jakarta -
Tren siaran langsung atau live mandi lumpur via media sosial TikTok tengah menjadi sorotan publik. Demi mendapat koin, pemeran dalam video rela melakukan berbagai kegiatan ekstrem, salah satunya mengguyur diri sendiri dengan air hingga mandi lumpur selama berjam-jam.
Dari aksi ini, akun TikTok bersangkutan bisa meraup untung jutaan rupiah dalam sekali live. Sejumlah akun pun berbondong-bondong melakukan aksi serupa, demi menarik perhatian warganet.
Lalu, fenomena apakah ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, fenomena yang tengah terjadi di TikTok ini bisa dikatakan sebagai fenomena pengemis pindah dari jalan ke media sosial.
"Bisa dikatakan fenomena pengemis pindah dari jalanan ke medsos, dan itu cukup buruk bagi perkembangan medsos. Karena seolah aksi-aksi yang paling nekat, paling konyol, mendapat atensi publik yang lebih besar," kata Bhima kepada detikcom (11/01/2023).
Menurutnya, kehadiran media sosial seharusnya bisa dimanfaatkan ke arah yang lebih produktif dan mengedukasi, mulai dari membantu pemasaran produk hingga meningkatkan kreatifitas. Bukan justru seolah-olah mengemis.
"Dan fenomena ini terjadi di banyak negara, seperti di China. Padahal banyak jalan menggunakan medsos itu, sebagai afiliator penjualan produk misalnya. Bukan justru memanfaatkan medsos menjadi masalah sosial yang baru," ujarnya.
Dalam hal ini, Bhima mengatakan, seharusnya platform media sosial memberikan aturan yang lebih ketat terhadap kontennya. Apabila dibiarkan, platform tersebut dapat dipenuhi konten yang tidak bermutu.
Lihat juga video 'Motif Pembunuhan Pria dalam Kubangan Lumpur di Sumsel: Sakit Hati':
[Gambas:Video 20detik]
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Senada dengan Bhima, Pakar Digital, Anthony Leong mengatakan, fenomena mengemis online ini bisa terjadi secara berkepanjangan apabila para warganet terus berkontribusi dalam memberikan koin.
"Prinsipnya ini memang satu fenomena di mana kita semakin dinamis ya, perkembangan teknologi dan informasi. Ini menandakan disrupsi bukan hanya terjadi di corporate, di government, tetapi juga terjadi dalam cara-cara orang meminta duit," katanya, saat dihubungi terpisah.
Dengan demikian, Anthony mengatakan, bagaimana penyelesaiannyasangat bergantung pada bagaimana publik bersikap. Menurutnya, media sosial harusnya dipergunakan sebagai sarana edukasi dalam memberikan pencerahan maupun esensi dengan substansi yang lebih baik.
Sementara itu, Pengamat Sosial Devie Rahmawati mengatakan, sebetulnya fenomena memohon pertolongan ini bukan hal baru, hanya saja metodenya yang semakin beragam karena semakin terbukanya ruang digital.
"Memang salah satu yang perlu diperhatikan, ada orang yang meminta pertolongan karena keterdesakan, tapi ada juga yang karena ingin memenuhi gaya hidup, atau yang ketiga memenuhi kebutuhan kecanduannya, dan yang keempat dalam konteks penipuan," kata Devie.
Menurut catatan penelitian yang dibaca Devie, pada praktek mengemis di jalanan pada tingkatan yang ekstrem, para pengemis ini bisa dengan nekat melukai anggota tubuhnya demi memastikan dirinya bisa mendapatkan empati dari masyarakat.
"Jadi tidak heran kalau kemudian di dunia digital hal-hal ekstrem seperti tadi juga sangat mungkin terjadi. Hanya saja modelnya berbeda, channelnya berbeda," terangnya.
Lebih lanjut Devie mengatakan, tidak bisa dipungkiri kalau ruang digital kini menjadi salah satu arena untuk mencari pendapatan. Hanya saja, apabila menggunakan cara yang mengeksploitasi, hal itulah yang membuatnya menjadi bermasalah.