Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan neraca perdagangan Indonesia periode Desember 2022 dan keseluruhan tahun.
Ekonom PermataBank Josua Pardede memperkirakan neraca dagang bulan Desember 2022 akan surplus US$ 4.17 miliar. Angka perkiraan itu lebih rendah dari realisasi bulan sebelumnya surplus US$ 5.16 miliar.
Dia menjelaskan volume ekspor pada bulan Desember 2022 diperkirakan akan cenderung melambat terindikasi dari aktivitas manufaktur mitra dagang utama Indonesia cenderung turun secara month to month sekalipun rata-rata harga komoditas ekspor seperti CPO dan batubara tercatat naik terbatas.
"Sementara itu di sisi impor ditopang oleh impor non-migas barang konsumsi sementara impor migas cenderung melambat di tengah tren harga minyak mentah yang cenderung turun pada akhir tahun 2022," ujar dia, Senin (16/1/2023).
Jadi secara keseluruhan, neraca dagang FY2022 diperkirakan surplus sekitar US$ 54, 8 miliar dibandingkan periode keseluruhan tahun 2021 yang tercatat surplus US$ 54,77 miliar.
Josua mengatakan peningkatan surplus perdagangan tersebut didorong oleh peningkatan ekspor yang lebih cepat dari peningkatan impor.
Ekspor yang meningkat sepanjang tahun 2022 ditopang oleh peningkatan harga komoditas dan volume terutama CPO, batubara, serta mineral dasar. Kedepannya, neraca dagang sepanjang 2023 diperkirakan akan tetap surplus US$40 miliar - US$ 45 miliar, meskipun lebih rendah dari surplus keseluruhan tahun 2022, mempertimbangkan potensi normalisasi harga komoditas global serta penurunan permintaan global di tengah ekspektasi perlambatan ekonomi global.
Ekonom, Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED) Ryan Kiryanto menyebut dilihat dari siklus yang biasa terjadi. Neraca dagang Indonesia Desember 2022 diperkirakan US$ 4,5 miliar atau lebih rendah dibanding November 2022 sebesar US$ 5,16 miliar.
Dia menjelaskan dengan kondisi ekonomi global ceteris paribus (relatif tidak berbeda antara posisi Desember dan November 2022), maka turunnya trade surplus lebih disebabkan oleh turunnya harga coal atau baru bara lantaran beberapa negara industri maju di Eropa mampu menemukan sumber energi lain setelah embargo gas oleh Rusia.
"Harga coal juga sudah melewati puncaknya setelah negara-negara importir sudah terbiasa dengan kondisi defisit gas di masa perang di Ukraina," ujar dia.
Selanjutnya pada saat yang sama harga minyak sawit mentah atau CPO juga terpantau stabil di tengah menurunnya permintaan jelang akhir tahun. Dengan perekonomian China yang melemah, membuat permintaan batubara, CPO, dan juga besi dan baja menurun, karena manufaktur yg melemah meskipun pemerintah China pada waktu itu sudah memberikan sinyal untuk membuka pengetatan prokes COVID-19 yg dimulai 8 Jan 2023 lalu.
Dia menambahkan turunnya trade surplus juga disebabkan kenaikan impor untuk pemenuhan bahan baku industri di dalam negeri sejalan dengan meningkatnya produksi sejalan dengan menguatnya permintaan karena pelonggaran kebijakan prokes di Tanah Air.
Lihat juga Video: Wih! RI Cetak Surplus 28 Bulan Berturut-turut
(das/das)