Bos startup fintech Frank, Charlie Javice, dituntut oleh JP Morgan Chase atas tuduhan pemalsuan data pengguna. Hal ini terjadi tidak lama setelah perusahaan keuangan top asal Amerika Serikat itu mengambil alih Frank dengan menghabiskan dana sebesar US$ 175 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun (dalam kurs Rp 15.250).
Frank merupakan startup yang memberikan layanan berupa pinjaman pendidikan kepada pelajar di AS yang mengklaim telah melayani lebih dari 5 juta siswa di 6.000 institusi sejak diluncurkan oleh Charlie Javice pada tahun 2017.
Lalu, siapa sosok Charlie Javice sang pendiri Frank?
Dilansir dari linkedIn miliknya, Senin (16/01/2023), Charlie Javice merupakan lulusan Wharton School Business dari Universitas Pennsylvania. Sementara dilansir dari Forbes, ia sempat masuk dalam daftar Forbes 30 under 30 di kategori Finance di tahun 2019. Daftar itu berisi 30 tokoh muda di bawah 30 tahun yang memiliki prestasi mentereng dan kontribusi besar bagi masyarakat.
Javice masuk daftar tersebut karena membesut startup Frank yang dapat mempercepat dan mempermudah proses pengajuan pinjaman pendidikan untuk mahasiswa di Amerika Serikat.
Forbes menyebut, Javice mendirikan Frank dari awalnya cuma beranggotakan 15 orang pada tahun 2016. Sejak saat itu, dia telah mengumpulkan pendanaan untuk Frank sebesar US$ 16 juta. Startup yang dibesutnya juga diklaim telah membantu 300.000 pengguna mengajukan permohonan bantuan keuangan.
Meski punya predikat mentereng sebagai Forbes 30 Under 30, tak menjamin karir Javice dilakoni dengan cara yang lurus. Terbongkarnya kasus ini jadi indikasi bahwa Charlie Javice adalah seorang tukang tipu alias 'tuti'.
Frank masuk dalam daftar perusahaan ritisan yang diakusisi bank terbesar AS JPMorgan setelah CEO-nya, Jamie Dimon menyatakan bahwa dia akan jauh lebih agresif dalam berburu startup untuk diakuisi. JPMC mengakuisisi Frank dengan biaya sebesar US$ 175 juta atau sekitar Rp 2,6 triliun.
Sayangnya, Javice terjerat dugaan penipuan. Ia diduga memalsukan data jumlah penggunanya. Dari total 4,25 juta pengguna yang diklaim, ternyata aslinya cuma 300 ribuan orang saja. Nama Chief Growth Officer Frank, Olivier Amar, juga ikut terseret dalam kasus ini.
Mereka disebut-sebut sempat meminta direktur teknik Frank untuk membuat detail pelanggan palsu. Setelah direktur tekniknya menolak, Javice kemudian diduga telah membayar US$ 18.000 atau sekitar Rp 274,5 juta kepada seorang profesor ilmu data untuk membuat jutaan akun palsu menggunakan data sintetis.
Pengacara Javice sendiri membantah tuduhan itu. Justru Javice malah mengajukan tuntutan balik yang menyebutkan JP Morgan berusaha untuk merusak perjanjian akuisisi yang sudah disepakati.
JP Morgan sendiri sudah menutup operasi Frank pada hari Kamis setelah gugatan itu dipublikasikan. Javice sendiri tetap bekerja sebagai direktur pelaksana yang mengawasi produk Frank setelah akuisisi dilakukan. Namun, JPMC menghentikan pekerjaannya pada bulan November.
Lihat juga Video: Forbes Sebut Kanye West Bukan Miliarder Lagi