Tuk tik tak tik tuk, suara sepatu kuda delman Soleh (50) melintasi kawasan sekitar Monas, Jakarta Pusat, Minggu (15/1). Sudah giliran delmannya dapat bagian mengambil penumpang setelah menunggu berjam-jam.
Soleh adalah kusir delman Monas yang sudah bekerja selama 25 tahun. Pukul 07.00 WIB delman sudah keluar dari kandang di wilayah Kemanggisan, berharap akhir pekan bisa mengantongi uang lebih banyak di Monas.
Meskipun saat ini operasinya dibatasi jadi hanya Sabtu-Minggu, aturan itu masih disyukuri Soleh karena delman tidak jadi dilarang total di Monas. "Alhamdulillah kita masih diperbolehkan. Sebelumnya sempat ada wacana benar-benar disetop," kata Soleh saat berbincang dengan detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditemui siang hari, Soleh baru mengantongi Rp 200 ribu. Panas terik matahari tak mengurangi semangatnya menawarkan naik delman kepada para pejalan kaki di trotoar kawasan Monas.
Namanya bekerja di jalan, penghasilannya setiap narik delman tidak dapat diprediksi. Paling banyak bisa sampai Rp 600 ribu/hari dari hasil narik Rp 100-150 ribu/penumpang, tapi seringkali juga pulang dengan kantong kosong alias tak dapat penumpang sama sekali.
"Kalau rezeki lagi bagus ya kadang-kadang dari mobil berhenti mau naik delman. Bukan cuma pernah lagi (nggak dapat penumpang sama sekali), tapi sering," tuturnya.
Selama puluhan tahun menjadi kusir delman, Soleh mengaku penghasilannya semakin ke sini menurun saat apa-apa serba naik. Dia pun mengenang saat masih boleh beroperasi di dalam kawasan Monas di mana penumpang lebih banyak, berbeda saat delman semakin terpinggirkan seperti saat ini.
"Sekitar 25 tahun lalu masih boleh beroperasi di dalam Monas. Dulu lebih enak karena nggak ada kendaraan, risikonya berkurang, penumpangnya juga banyak. Kalau sini kan campur mobil," tuturnya.
Soleh pun tak jarang nunggak bayar sewa kuda kepada pemilik yang sebesar Rp 200 ribu/minggu. Bapak 3 anak itu harus putar otak agar penghasilan yang terbatas bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Untungnya yang punya kuda ngerti keadaannya kalau kita lagi sepi penumpang. Ada yang digratisin, ada yang nanti kalau ada rezekinya baru dobel. Habis gimana kalau memang nggak ada, boro-boro buat yang punya kuda, buat kita juga nggak ada," ucapnya.
Selama operasional di Monas dibatasi hanya Sabtu-Minggu, Soleh mencari penghasilan tambahan dengan menarik delman ke kampung-kampung pada sore hari. Meskipun, dari situ paling banyak hanya mendapat Rp 100 ribu.
"Di Monas kan cuma Sabtu-Minggu, saya Senin libur supaya kudanya istirahat. Selasa-Kamis baru keliling kampung. Jumatnya libur lagi karena buat persiapan besoknya di Monas," jelas Soleh.
Sehari-harinya, Soleh bisa dibilang lebih banyak menghabiskan waktu di kandang mengurusi kuda. Untungnya kediamannya tidak terlalu jauh dari kandang hanya sekitar 1 km.
"Pagi ke kandang, mandiin, bikin sarapan, abis itu kita cari makan rumput buat makan dia siang sampai sore lagi. Cari rumput tiap hari di daerah Jakarta Barat masih banyak di kavling-kavling kosong," imbuhnya.
Soleh mengakui lebih banyak duka dibanding sukanya menjadi kusir delman. Tapi apa boleh buat, kuda sudah sangat melekat di kehidupannya setelah turun-temurun dari orang tua. Apalagi usianya sudah tidak lagi muda.
"Suka dukanya jadi kusir, lebih banyak nggak sukanya karena cari penumpang sekarang semakin susah," katanya.
Hal sama juga dikatakan oleh Purwono (30) yang memutuskan menjadi kusir sekitar 4 tahun lalu. Pekerjaan ini dipilih karena melanjutkan orang tuanya yang juga kusir, setelah sebelumnya membuka usaha warung kelontong.
"Saya melanjutkan delman milik orang tua. Sebelumnya buka warung kecil-kecilan di rumah," imbuhnya.
(aid/zlf)