Jakarta -
Pakar Bisnis Prof Rhenald Kasali menyampaikan gelombang disrupsi kedua tengah dihadapi industri startup. Hal ini menyusul penutupan Silicon Valley Bank dan dua bank lain di Amerika Serikat.
"Gelombang disrupsi kali ini menyangkut perubahan paradigma bisnis, dari era keberlimpahan dana investasi akibat kebijakan bunga rendah di Amerika Serikat menjadi sebaliknya," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (15/3/2023).
Menurutnya disrupsi pertama telah berlangsung sekitar 15 tahun (2007-2022). Korbannya, pelaku usaha "brick and mortar" seperti Nokia, Kodak, Sears, sejumlah retail konvensional, ruang-ruang perkantoran, dan media massa berbasiskan kertas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu startup memasuki puncak kejayaannya selama pandemi, dan itu dicapai berkat keberlimpahan dana investor berbiaya modal rendah.
Disrupsi gelombang pertama dipicu oleh bunga pinjaman rendah yang diambil investor-investor baru pemburu kenaikan valuasi. Startup berhasil merebut pasar melalui teknik bakar uang yang menghasilkan top line (revenue) yang impresif dan merebut hati investor pemburu valuasi tinggi.
"Tetapi valuasi melalui metode bakar uang seperti itu belum bisa dikatakan membentuk market yang stabil," terangnya.
Simak Video 'Silicon Valley Bank Bangkrut Bikin Industri Teknologi Dunia Ketar-ketir':
[Gambas:Video 20detik]
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Kini, menurutnya suku bunga bank yang tinggi menjadi pengubah. Untuk menekan inflasi tinggi, sejak Juli lalu the Fed meningkatkan suku bunga dengan cepat sehingga para investor menarik uangnya dari investasi di perusahaan teknologi ke deposito bank atau surat berharga pemerintah yang memberikan return lebih tinggi.
"Pengurangan sumber dana dari investor memaksa perusahaan teknologi putar arah. Dari valuasi ke efisiensi, dari top line ke bottom line. Maka penyehatan menjadi keharusan. Era Bakar duit berakhir," tegasnya.
Ia mencontohkan GoTo yang kembali melakukan penyehatan organisasi, memangkas biaya yang duplikasi.
"GoTo tengah memasuki masa penyehatan, menipiskan lemak akibat redundancy. Merger Gojek dan Tokopedia telah menghasilkan banyak potensi sinergi dan tentu harus dibarengi dengan operasional yang lebih efisien. Kini GoTo harus lebih disiplin dan berfokus pada bisnis inti yang menghasilkan return on investment," lanjutnya lagi.
Kalau GoTo berhasil, maka perusahaan itu akan menjadi lebih lincah mengejar target profitabilitasnya di akhir 2023. Apalagi target ini dipercepat 1,5 tahun dari rencana awal.
Ia membandingkan GoTo dengan startup lain yang masih menunggu profit, dan mencontohkan Sea Limited (Singapore) yang justru meraih untung di atas Rp 6 Triliun pada Q4 2022. Padahal bisnis gaming unit Garena merosot 32.9%, dari US$ 1.41 miliar pada tahun sebelumnya menjadi US$ 948.8 juta pada kuartal itu.
Perusahaan internet raksasa yang sudah menguntungkan seperti Meta pun melakukan perampingan organisasi dengan memangkas kembali 10,000 karyawan. Menurut Rhenald, perusahaan menganggap semakin ramping maka semakin bagus.
"Sea kehilangan market gaming Free Fire yang dilarang di India. Cukup besar, tapi dengan mengurangi bakar duit, bahkan merampingkan SDM, kini jauh lebih sehat. Era baru telah datang, mindset para merchant, driver, UMKM pengguna bisnis online, anak-anak yang bekerja di startup dan kita yang menyaksikannya juga harus berubah," tutupnya.