Namanya Disenggol Mahfud soal Pencucian Uang Rp 189 T, Heru Pambudi Buka Suara

Namanya Disenggol Mahfud soal Pencucian Uang Rp 189 T, Heru Pambudi Buka Suara

Anisa Indraini - detikFinance
Jumat, 31 Mar 2023 13:32 WIB
Dirjen Bea CUkai, Heru Pambudi
Foto: Heru Pambudi (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi buka suara usai namanya disebut Menkopolhukam Mahfud MD terkait dugaan pencucian uang di lingkungan bea cukai senilai Rp 189 triliun terkait ekspor impor emas. Nilai itu merupakan bagian dari Rp 349 triliun yang sedang heboh.

Peristiwa bermula terjadi pada 2016 saat Heru Pambudi masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Ia mengatakan saat itu pihaknya menerima dokumen dari PPATK soal laporan Rp 189 triliun dan sudah ditindaklanjuti.

"Sebelumnya di 2017 ada rapat koordinasi dalam bentuk gelar perkara mengenai pengawasan komoditi emas, saya hadir di situ dan ada absennya. Saya hadir bersama Ibu Sumiyati (eks Irjen Kemenkeu) dan dua orang lainnya," kata Heru dalam media briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam rapat tersebut intinya membahas mengenai penguatan yang diperlukan dalam gelar perkara untuk pengawasan komoditi emas baik impor maupun ekspor.

"Kita bentuk tim teknis yang dikerjakan yaitu pertama pendalaman dan pengawasan administrasi kepabeanan. Kedua pajak, ketiga TPPU-nya sendiri, itu yang kita tindaklanjuti dari hasil gelar perkara di 2017," tuturnya.

ADVERTISEMENT

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pada 2016 bea cukai sempat mencegah ekspor logam mulia. Pasalnya barang itu disebut berbentuk perhiasan, padahal rupanya adalah emas mentah (ingot).

Bea cukai pun mendalami dan melihat bahwa ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian penyidikan bahkan sampai ke pengadilan selama 2017-2019. Proses pengadilan menyatakan bahwa bea cukai (BC) kalah.

"Di pengadilan negeri BC kalah, lalu BC kasasi, di kasasi BC menang. Lalu 2019 dilakukan penelitian kembali atas permintaan terlapor. Di peninjauan kembali BC kalah lagi. Jadi dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanannya di peninjauan kembali terakhir," ucapnya.

Bea cukai melihat pada 2020 ada modus serupa kembali terjadi. Pihaknya pun mengaku kembali berdiskusi dengan PPATK.

"Ini ditindaklanjuti dengan berbagai macam rapat sampai dengan bulan Agustus 2020 di satu rapat dikatakan bahwa kalau modusnya sama, kasus 2016-2019 itu kita sudah dikalahkan oleh pengadilan tindak pidana kepabeanan, itu dikalahkan oleh pengadilan modusnya sama soalnya," ucapnya.

"Dengan logika seperti itu maka Agustus 2020 disepakati kalau tindak kepabeanannya tidak kena masukan, kekejar pajaknya sehingga kemudian PPATK mengirimkan lagi hasil pemeriksaan atau mengirimkan data kepada pajak dan itu dikirimkan Oktober 2020," tambahnya.

Sebelumnya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi III DPR, Mahfud mengatakan PPATK telah mengirim laporan dugaan TPPU ke Kemenkeu pada 2017. Namun, data tersebut tidak dikirim dalam bentuk surat karena sensitif.

Ia mengatakan laporan tersebut disampaikan langsung oleh eks Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, didampingi eks Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae. Laporan itu tertanggal 13 November 2017.

Mahfud menyebut laporan PPATK itu diterima oleh Heru Pambudi, yang kala itu menjabat Direktur Jenderal Bea Cukai, lalu eks Irjen Kemenkeu Sumiyati, serta dua perwakilan lain dari Kemenkeu. Namun menurutnya tidak ada tindak lanjut dari Kemenkeu atas laporan tersebut sampai pada akhirnya PPATK mengirimkan surat baru pada 2020.

"Ini yang nyerahkan Ketuanya (PPATK) Pak Badaruddin, Pak Dian Ediana. Kemudian (yang menerima) Heru Pambudi dari Dirjen Bea Cukai, lalu Sumiyati Irjennya. Ini ada tanda tangan semua nih," tegas Mahfud di DPR, Jakarta Pusat, Rabu (29/3).

(aid/das)

Hide Ads