Ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, pihaknya berencana menyetop penjualan minyak goreng di toko-toko ritel. Hal ini terkait dengan belum dibayarnya selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022 sebesar Rp 344 miliar.
"Di antara anggota kami, kami saat ini sedang mengkaji inisiasi untuk menghentikan pembelian, pengadaan minyak goreng dari produsen dan pemasok minyak goreng," tegas di Gatot Subroto, Jakarta Pusat, dikutip Sabtu (15/4/2023).
Roy enggan bicara kapan aksi penyetopan penjualan minyak goreng ini akan dilakukan. Yang jelas inisiatif tersebut sudah banyak dibicarakan dalam internal Aprindo.
"Kami bukan mau mengancam, tapi ini cara kami agar didengar. Soal kapannya, kami masih koordinasi dulu dengan anggota asosiasi, bila sama sekali tak ada perhatian dari pemerintah kami akan lakukan itu," kata Roy.
Menurutya rafraksi itu seharusnya dibayar 17 hari setelah program itu dilakukan, sialnya sudah setahun lebih rafaksi tak kunjung dibayarkan. Dia menjelaskan program minyak satu harga sendiri dilakukan dalam rangka kepatuhan kalangan usaha pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 3 tahun 2022.
Kala itu semua pengusaha diminta menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara itu harga minyak goreng di pasaran kala itu berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. Nah selisih harga atau rafaksi itu dalam Permendag 3 disebut akan dibayarkan pemerintah.
"Rafaksi kita lakukan ketika ada Permendag 3 2022, jadi rafaksi bukan kemauan ritel, karena ada regulasi Permendag itu. Itu ketentuan yang berlaku di Permendag 3 perihal minyak goreng satu harga. Semua dijual Rp 14.000, dari 19 Januari sampai 31 Januari," ungkap Roy Mandey.
"Dalam regulasi itu selain satu harga, pemerintah akan bayarkan selisih harga, karena saat itu harga melonjak tinggi," lanjutnya.
Masalah muncul ketika Permendag 3 digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. Beleid baru itu membatalkan aturan lama soal rafaksi yang ditanggung pemerintah. Padahal, menurut Roy, seharusnya utang pemerintah kepada pengusaha tetap harus dibayarkan.
"Permendag 6 muncul, memang yang Permendag 3 jadi tak berlaku lagi, tapi bukan berarti rafaksi nggak dibayar. Kita sudah setorkan semua data pada 31 Januari sudah kita penuhi semuanya," ungkap Roy.
Menurut Roy pihaknya heran mengapa utang rafaksi yang dibayar pemerintah tak juga dibayarkan. Apalagi, uang rafaksi itu tidak dibiayai oleh APBN, melainkan uang pungutan ekspor CPO dari eksportir kelapa sawit yang ada di BPDPKS.
"Pembayaran rafaksi tidak lewat APBN, tapi lewat BPDPKS, uangnya bukan APBN, dari ekspor CPO, tarif ekspor CPO, jadi uangnya swasta bukan APBN. Jadi dengan kata lain kita minta untuk bayar aja, sampai hari ini belum dibayar. Tidak fair saat kita patuhi aturan tapi nggak tahu kapan dibayar dan diselesaikan," papar Roy.
Tunggu verifikasi Kementerian Pertdagangan. Langsung klik halaman berikutnya
(hns/hns)