Jakarta -
Perusahaan produsen wadah makanan terkenal, Tupperware terancam bangkrut. Kondisi ini terjadi karena proyeksi kinerja perusahaan yang suram hingga saham ] anjlok 50% beberapa pekan lalu.
Tupperware telah memulai bisnisnya sejak 1946. Namun kini, perusahaan harus menghadapi utang yang menumpuk, penurunan penjualan, hingga saham yang anjlok. Sejumlah pakar menyebut, hal ini disebabkan perusahaan yang gagal beradaptasi.
Juru bicara Tupperware dalam sebuah pernyataan mengatakan, buruknya performa perusahaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yakni pandemi, inflasi, dan suku bunga yang tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga menyebut, Tupperware telah bekerja sama dengan penasihat keuangan dan menjalin sejumlah kemitraan dengan gerai ritel seperti Target dan Amazon untuk memperkuat posisi merek.
"Selama lebih dari 75 tahun, Tupperware Brands telah menjadi salah satu merek rumah tangga ikonik yang paling dicintai di dunia," ujar juru bicara Tupperware dikutip dari CNN, Selasa (25/4/2023).
"Dan kami sangat senang untuk tetap berada di jantung meja ruang makan, meja dapur, dan rak pantry selama bertahun-tahun mendatang," sambungnya.
Sistem pemasaran Tupperware disorot. Cek halaman berikutnya.
Sementara itu, profesor pemasaran di Wharton School of Business Universitas Pennsylvania, Barbara Kahn mengkritisi sistem pemasaran yang dilakukan oleh Tupperware. Menurutnya, perusahaan terlalu terpaku pada pola bisnis direct selling alias penjualan langsung.
Di masa lampau, Tupperware menjangkau para pelanggannya lewat 'Tupperware Parties' atau pesta Tupperware. Dalam pertemuan tersebut, para pecinta merek ini akan mendemonstrasikan dan menjual produk kepada teman maupun kenalan mereka.
"Model penjualan langsung itu berhasil dengan baik pada awalnya, tetapi tidak disukai karena kebiasaan konsumen berubah dalam beberapa dekade sebelum pandemi," ujar Kahn.
Oleh karena itu, para pakar memandang, kondisi pandemi dan inflasi global bukanlah alasan utama dari kejatuhan Tupperware. Pendapat ini dikemukakan oleh profesor pemasaran di Kellogg School of Business di Northwestern, Tim Calkins.
Menurut Calkins, pandemi hanya memperburuk kondisi Tupperware yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku konsumen, serta dalam menghadapi para pesaing barunya. "Perusahaan secara bertahap kehilangan tenaga. Tidak turun dari puncak selama bertahun-tahun, itu hanya menjadi lebih lemah," kata Calkins.
"Jika Anda pergi dan melihat Tupperware di Target, yang Anda lakukan hanyalah melihat betapa tidak terbedakannya mereka, berapa banyak wadah penyimpanan pengganti lain yang tersedia," lanjutnya.
Masyarakat pun jadi cenderung membandingkan produk Tupperware dengan merek lain berdasarkan harga, sehingga produk ini tidak spesial lagi. Tupperware juga gagal berinovasi dalam menanggapi perubahan persaingan dan perilaku konsumen. Akibatnya, penjualan Tupperware menurun selama bertahun-tahun.