Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto mengatakan kondisi sektor keamanan siber Indonesia di level global yang terbilang masih sangat lemah. Salah satunya lantaran sektor keamanan siber Indonesia masih dilingkupi dengan banyak 'lubang'.
Andi menilai, kondisi ini dapat membuat kepercayaan investor terhadap komitmen pemerintah dalam menangani permasalahan keamanan siber pun juga bisa ikut melemah. Begitupun dengan para investor yang disasar untuk pengembangan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang mengusung konsep smart city berteknologi tinggi.
"Kalau komitmen pemerintah tetap dinilai rendah, investasinya nggak akan masuk. Mereka nggak akan mau investasi smart digital untuk misalnya IKN, mereka nggak akan masuk smart city untuk IKN karena dilihat indeks kita masih rendah. Masih ada lubang-lubang regulasi," kata Andi dalam Webinar Memperkuat Ketahanan Nasional di Industri Jasa Keuangan lewat saluran telekonferensi, Senin (22/5/2023) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak hanya di IKN, hal ini juga berpotensi menghambat investasi di sektor teknologi dan digital lainnya, termasuk pengembangan startup. Adapun lubang yang dimaksud Andi ini ialah sejumlah persoalan yang membuat kondisi keamanan siber di Indonesia terbilang masih sangat lemah.
Berikut sederet faktanya:
1. Indeks Pertahanan Siber di Bawah Rata-rata Global
'Lubang' pertama yang disoroti Andi ialah berkaitan dengan indeks pertahanan siber. ia menyebut, saat ini poin Indonesia masih di bawah rata-rata global. Adapun secara global, rata-ratanya berada pada angka 6,19. Sementara Indonesia sendiri hanya mencapai 3,46 poin.
"Kita memang sangat lemah untuk indeks keamanan siber. Kalau dari skor 1 sampai 5, Indonesia bergerak dari 2 ke 3, minimal kita berada di 3. Kalau di negara-negara Asia Tenggara, kita jauh di bawah Singapura, jauh di bawah Malaysia. Minimal kita mendekat Malaysia," ujarnya.
2. Satu-satunya Negara ASEAN yang Tidak Punya UU Keamanan Siber
Berikutnya, Andi mengatakan, lubang juga berada pada sisi regulasi pemerintah. Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang tidak mempunyai Undang-Undang Keamanan Siber atau tepatnya kebijakan terkait yang ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Satu-satunya, dari 10 negara. Kita kalah dari Laos, kita kalah dari Kamboja untuk kebijakan keamanan siber," imbuhnya.
3. Kesulitan Penuhi Anggaran
Tidak hanya itu, Indonesia juga kesulitan memenuhi anggaran untuk peningkatan investasi keamanan siber dalam hal infrastruktur, misalnya untuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang anggarannya Rp 3-4 triliun pada 2023, RI hanya mampu memenuhi 30% atau sekitar Rp 1 triliun.
Oleh karena itu, hal ini menjadi salah satu PR besar bagi pihaknya untuk dapat menutup 'lubang-lubang' tersebut sebelumnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) rampung. Setidaknya, ia berharap dalam empat tahun ke depan indeks pertahanan siber Indonesia bisa meningkat sedikit di atas rata-rata global.
"Kalau itu tidak dilakukan (menutup 'lubang'), lupakan investasi dari bidang digital ngalir ke Indonesia. Lupakan ada investasi di bidang startup, lupakan investasi-investasi di bidang teknologi digital. Karena dunia kemudian akan melihat ini dulu. Kalau indeks keamanan siber kita tetap rendah, komitmen pemerintah tetap dinilai rendah, investasinya nggak akan masuk," pungkasnya.
Simak Video 'Indeks Pertahanan Siber Indonesia Masih di Bawah Rerata Global':