Jakarta -
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menyebutkan Indonesia membayar utang pemerintah sangat besar hingga Rp 1.000 triliun per tahun. Kementerian Keuangan membantah klaim tersebut dengan membuka data soal jumlah pembayaran utang setiap tahun.
JK menyatakan besaran pembayaran utang Rp 1.000 triliun itu menjadi yang paling banyak sejak Indonesia merdeka. Hal ini disampaikan JK dalam agenda Milad ke-21 PKS di Istora Senayan. Pernyataan itu menambahkan keterangan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mengungkap utang pemerintah saat ini semakin besar.
"Ekonomi ada masalah dalam negeri dan luar negeri, tadi saya bicarakan utang, Mas AHY tadi mengatakan utang besar, ya, betul. Setahun bayar bunga dan utang lebih Rp 1.000 triliun. Terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka," katanya acara yang disiarkan di YouTube PKSTV, dikutip Selasa (23/5/2023) yang lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merespons pernyataan JK, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo buka-bukaan soal data utang Indonesia selama ini yang tidak sampai Rp 1.000 triliun per tahun. Jumlah utang yang dibayarkan Indonesia hanya sekitar ratusan triliun tiap tahun.
"Kita tidak mengeluarkan Rp 1.000 T per tahun untuk membayar utang seperti yang disampaikan oleh Pak JK. Bu Sri Mulyani sudah merespons ini," ujar Yustinus Prastowo dalam utas panjangnya di Twitter @prastow, dikutip Minggu (4/6/2023).
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang sudah diaudit BPK yang dipaparkan Yustinus, sejak 2017-2021 paling besar utang yang dibayarkan pemerintah per tahun Rp 902,37 triliun pada 2021.
Secara runut, pada 2017 pengeluaran utang Rp 566,78 triliun, 2018 sebesar Rp 759,26 triliun, 2019 sebesar Rp 837,91 triliun, 2020 sebesar Rp 770,57 triliun, dan 2021 Rp 902,37 triliun.
Pengeluaran utang pemerintah terdiri dari pembayaran cicilan pokok dalam negeri, surat berharga negara, cicilan pokok luar negeri, dan bunganya.
Utang pemerintah aman? Cek halaman berikutnya.
Utang dalam Batas Aman
Lebih lanjut, Yustinus Prastowo membeberkan rasio utang terhadap PDB juga masih di bawah batas aman. Artinya, utang pemerintah masih berada di batas yang wajar dan mampu dibayarkan. Dia menyatakan per April 2023 rasio utang sempat turun menjadi 39,17% dari 39,57% pada Desember 2022.
"Kebijakan countercyclical penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi membuat rasio utang meningkat, di 2020 sebesar 39,4% dari PDB dan 2021 sebesar 40,7% dari PDB. Kemampuan recovery yang baik membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit, sekaligus menurunkan debt ratio," papar Yustinus.
Lebih lanjut Yustinus mengatakan kenaikan PDB Indonesia yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi tumbuh sangat besar, jauh lebih besar daripada pertumbuhan utang. Padahal, mayoritas negara lain mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB.
Dari data yang dia paparkan pertumbuhan PDB di Indonesia naik sebesar US$ 276,1 miliar pada tahun 2018-2022 dan pada waktu yang sama pertumbuhan utang hanya mencapai US$ 206,5 miliar.
Amerika yang dikenal sebagai negara adidaya, pertumbuhan ekonominya lebih rendah daripada pertumbuhan utang. Di waktu yang sama PDB AS tercatat sebesar US$ 4,9 triliun, sementara pertumbuhan utang mencapai US$ 8,9 triliun.
Nasib China pun sama seperti AS, PDB-nya tercatat US$ 4,25 triliun, sementara itu pertumbuhan utangnya jauh lebih besar mencapai US$ 6,1 triliun.
"Kita patuh pada fiscal rule. Konsekuensinya, kenaikan PDB Indonesia lebih besar daripada utang, di saat mayoritas negara ASEAN dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi daripada PDB," beber Yustinus.
Yustinus menegaskan Indonesia dijamin mampu membayar utang yang ada karena indikator risiko utang menurun. Pertama, ada penurunan debt service ratio/DSR dari 2020 sebesar 47,3% menjadi 34,4% pada tahun 2022.
"Ini menurun lagi per April 2023 menjadi 28,4%. DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan," beber Yustinus.
Selain DSR, indikator interest ratio atau rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan juga menurun, dari 19,3% pada 2020 menjadi 14,7% pada 2022, kemudian indikator ini turun ke level 13,95% per April 2023.
"Penurunan DSR dan IR ini menunjukkan bahwa kemampuan APBN dalam membayar biaya utang baik pokok dan bunga semakin menguat," kata Yustinus.