KKP Jelaskan Keunggulan Hasil Sedimentasi Laut buat Reklamasi

KKP Jelaskan Keunggulan Hasil Sedimentasi Laut buat Reklamasi

Erika Dyah Fitriani - detikFinance
Senin, 05 Jun 2023 19:06 WIB
Ilustrasi air laut jernih
Foto: dok. KKP
Jakarta -

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut ditujukan untuk kepentingan nasional. Hasil sedimentasi dipastikan layak untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di dalam negeri.

Kepala Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan Perikanan I Nyoman Radiarta menerangkan endapan sedimen merupakan batuan yang terangkut dari hasil material kompak. Batuan ini terakumulasi di permukaan bumi atau merupakan produk penghancuran batuan tua yang kemudian diangkut dan didistribusikan oleh arus atau angin.

Bicara soal jenis, sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butirannya antara lain lempung, lumpur, pasir, kerikil, koral, cobble, dan batu (boulder).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebaran tekstur sedimen di dasar laut sangat penting untuk dilakukan pengelolaan," ungkap I Nyoman dalam keterangan tertulis, Senin (5/6/2023).

Ia menerangkan hasil sedimentasi laut berupa tanah lunak (lempung) sejatinya merupakan material reklamasi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Sedimentasi jenis ini tersedia dalam jumlah yang melimpah di dasar laut, sungai, serta wilayah pesisir.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, tanah lunak (lempung) memiliki potensi yang besar untuk dijadikan bahan pengisi pekerjaan reklamasi. Hal ini pun telah dilakukan di proyek-proyek pembangunan di luar negeri.

"Sebagai contoh pemanfaatan tanah lunak (Lempung) hasil sedimentasi untuk reklamasi sudah dilakukan untuk pembangunan Bandara Internasional Jepang Tengah, peluasan Pelabuhan Laut di Brisbane, Australia dan Pelabuhan Kapal Valencia, Spanyol," paparnya.

Hal senada disampaikan Kepala Pusat Riset Kelautan Hendra Yusran Siry. Hendra menjelaskan jenis dan tipe sedimentasi di laut yang bisa dioptimalkan untuk reklamasi tidak hanya jenis angular atau bertekstur kasar, namun bisa juga yang bertekstur lebih halus seperti lempung. Ia mengungkapkan metode dan teknologi untuk konsolidasi sedimentasi laut telah tersedia, bahkan untuk tipe sangat halus sekalipun.

"Pekerjaan reklamasi di berbagai tempat telah membuktikan bahwa dengan tipe yang bukan angular atau bertekstur kasar bisa berhasil dengan tingkatan kepadatan tanah yang baik dan kuat," ujar Hendra.

"Sebagai contoh, pekerjaan skala besar di wilayah pesisir Busan, Korea Selatan, meliputi wilayah Gadukdo, Noksan, dan Shinho, telah membuktikan keberhasilan endapan lempung laut lunak in-situ dengan ketebalan sekitar 30 hingga 40 meter," jelasnya.

Dalam proses reklamasi alami pun, lanjutnya, tekstur sedimentasi yang lebih halus bisa meningkatkan kepadatan dan penambahan sedimentasi mencapai 10 cm per tahun seperti yang terjadi di muara Sungai Porong, Sidoarjo. Pembuktian ini menjawab anggapan sejumlah pihak yang menyebut hasil sedimentasi tidak bisa digunakan sebagai material reklamasi.

Hendra menilai PP 26 Tahun 2023 dan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menjadi kombinasi apik dalam memastikan upaya pemanfaatan hasil sedimentasi laut berpadu dengan rencana reklamasi yang legal.

Menurutnya, penggunaan hasil sedimentasi laut untuk memenuhi kebutuhan reklamasi justru dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan lingkungan di darat yang dapat memicu terjadinya bencana.

"Hitungan sederhana untuk luasan rencana 7.000 hektare yang sudah tercantum dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ketinggian sampai 10 meter misalnya membutuhkan material sekitar 700 juta meter kubik, dan belum lagi material lain serta potensi reklamasi lain," terang Hendra.

Ia menyebut jika jumlah material yang dibutuhkan tersebut diambil dari darat, sepertiga dari luas Taman Nasional Gede Pangrango (luas hampir lebih 24.000 hektar) perlu diratakan dan dialihkan ke lokasi reklamasi atau 8 kali luas total daratan kepulauan seribu (luas daratan kepulauan seribu 890 hektare).

"Pengambilan material dari darat dengan asumsi itu dengan mudah akan menimbulkan bencana seperti banjir, tanah longsor, hilangnya sumber mata air, dan hilangnya lahan pertanian. Dalam pelaksanaannya pun akan mengganggu aktivitas warga karena transportasi pengangkatan material. Polusi debu dan rusaknya jalan sebagai jalur logistik pangan masyarakat ikut menjadi korban," jelasnya.

Menurutnya, pilihan terbaik adalah mengambil material yang secara proses alami selalu ada, yaitu sedimentasi dari laut. Sedimentasi ini dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti di muara sungai, maupun pada perairan laut.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan sedimentasi dapat membentuk gosong yang justru bisa mengganggu alur nelayan dan tempat pemijahan. Jika tidak dikelola dengan baik, sedimentasi juga akan berdampak pada kelestarian ekosistem dan produktivitas masyarakat baik masyarakat pesisir maupun masyarakat umum.

Namun ia mengakui perlunya kajian komprehensif dan pengawasan saat pelaksanaan pembersihan sedimen untuk memanfaatkannya. Untuk itu, keberadaan PP 26/2023 bertujuan meningkatkan daya dukung dan daya tampung serta kesehatan laut dapat dicapai.

Hendra menegaskan pihaknya akan memastikan pelaksanaan PP 26/2023 dilaksanakan dengan tahapan perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan yang sangat ketat. KKP juga dipastikan mendukung transparansi untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut, serta mengutamakan kesehatan laut.

Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Trenggono menyatakan pemanfaatan hasil sedimentasi, khususnya pasir laut, diutamakan untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di berbagai wilayah Indonesia. Bukannya mendukung komoditas ekspor.

Menurut Trenggono, penggunaan pasir laut untuk reklamasi menjadi lebih terukur karena harus berasal dari hasil sedimentasi, bukan yang dikeruk di sembarang lokasi. PP 26/2023 juga mengedepankan keterbukaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Hal itu ditujukan dengan pembentukan Tim Kajian yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, hingga aktivis lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Bab Perencanaan.



Simak Video "Video: Tak Berizin, Pertambangan Pasir di Pulau Citlim Riau Dihentikan KKP"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads