Begitu juga dengan Zambia sebagai negara tuan rumah terbesar kedua dalam proyek BRI, yang telah berhutang lebih US$ 6 miliar atau setara dengan Rp 90 triliun kepada China. Hingga 2020 Zambia gagal untuk membayar utangnya tersebut. Hingga, Zambia telah menyetujui penawaran China untuk bayar utang melalui jalur kredit lewat 18 pihak bank China.
Negara Afrika lainnya, Ethiopia yang kini masih terus melakukan pembicaraan dengan China untuk restrukturisasi pinjaman. Tercatat dari 2009-2019 Ethiopia telah meminjam US$ 13 miliar atau setara dengan Rp 195 triliun kepada China. Tapi tetap saja Ethiopia gagal dan belum berhasil dalam menangani ekonomi negara mereka dan kabarnya Ethiopia masih meminta bantuan kembali kepada China.
Situasi yang sama terjadi pada Pakistan, Sri Lanka, dan Zambia. Di mana sebagian besar uang yang dipinjamnya kepada China bukan untuk mengembangkan proyek BRI, melainkan untuk memenuhi kebutuhan negaranya seperti kebutuhan listrik, bahan bakar, hingga gaji kepada pegawai negaranya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Niat membantu negara-negara tersebut, membuat kondisi China semakin memburuk. China dianggap sebagai penyebab utama banyak negara terjebak utang. Karena semakin banyak China memberi bantuan pinjaman kepada negara-negara debitur itu, semakin banyak juga tagihannya dan membuat negara debitur itu sulit dalam membayar utangnya kepada China.
Pakistan berutang lebih dari sepertiga dari total utang luar negerinya ke China. Pada tahun fiskal 2022-23, pembayaran utang luar negeri mencapai 56,4%. Angola, juga telah berutang lebih dari 40% dari total pinjaman luar negerinya. Total negara itu telah meminjam US$ 73 miliar atau setara Rp 1.095 triliun kepada China.
Banyak penelitian yang menilai proyek jalur sutera China yang memberi bantuan kepada beberapa negara, belum dapat membantu membawa negara debitur itu menjadi lebih baik. Malah sebaliknya, negara-negara debitur itu kesulitan dalam membayar utang.
(fdl/fdl)