Dikritik Anggota DPR soal Ekspor Pasir Laut, Begini Pembelaan Trenggono

Dikritik Anggota DPR soal Ekspor Pasir Laut, Begini Pembelaan Trenggono

Aulia Damayanti - detikFinance
Senin, 12 Jun 2023 15:54 WIB
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono/Foto: Dok. KKP
Jakarta -

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjawab kritikan dari anggota Komisi IV DPR RI soal ekspor pasir laut. Ia menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut tidak hanya soal ekspor pasir.

Trenggono mengatakan dalam aturan itu juga diatur mengenai sedimentasi dari pasir laut juga akan digunakan untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah serta pembangunan sarana dan prasarana oleh pelaku usaha.

"Pasal 9 mengatakan bahwa sedimentasi di laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, b pembangunan infrastruktur oleh pemerintah. Pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan di dalam negeri terpenuhi, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," jelasnya dalam rapat dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (12/6/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, PP ini juga berkaitan dengan dasar hukum pada pemanfaatan pasir yang terbentuk dari sedimentasi di dalam laut di mana biasanya digunakan untuk reklamasi. Karena sebenarnya selama ini pengerukan pasir laut untuk reklamasi diambil dengan cuma cuma.

"Untuk menggunakan sedimentasi di mana, nggak ada pak, ya nggak dikasih. saya mengajukan untuk reklamasi di Surabaya, luasannya misalnya 1.000 hektare, oke kita cek, pergi ke sana, diawasi ini. Kamu bayar PNBP, alhamdulillah, jadi pendapatan negara luar biasa," jelasnya.

ADVERTISEMENT

"Saya membayangkan, seluruh kebutuhan dalam negeri saja untuk reklamasi tidak kurang dari 20 miliar kubik. Selama ini gratis tis tis tis. Nah itu tujuannya, kalau saya minta anggaran terus melalui banggar, banggar sudah kerja setengah mati juga. Tapi memang susah. Nah sekarang tuhan ini, Allah SWT kasih banyak hal yang diberi ke kita untuk bisa dioptimalisasi yg bs jd pendapatan negara. Kok nggak boleh? Nah itu saja," tambahnya.

Trenggono juga mengungkap karena semakin banyaknya reklamasi di dalam negeri yang membutuhkan pasir hasil sedimentasi, ada pulau yang akhirnya hilang karena pasirnya dikeruk untuk kebutuhan reklamasi. Nah, hal itulah yang menjadi dasar juga Trenggono ingin penggunaan pasir hasil sedimentasi memiliki aturan.

"Dari mana bahan untuk reklamasi? dari mana? Pulau dihajar. Kita tangkap di Rupat, kita stop di Rupat, karena pulau yang disedot. Nggak bisa seperti ini. Ini adalah merusak lingkungan. Itu dulu mungkin yang terjadi, mohon maaf," tegasnya.

Ia pun meminta Komisi IV DPR RI juga keliling di Indonesia mengecek bagaimana penggunaan pasir laut untuk kebutuhan reklamasi selama ini. Trenggono juga menyinggung bahwa untuk mengkritik aturan ini mudah tetapi tidak melihat bagaimana kasus yang selama ini terjadi akibat tidak adanya aturan sedimentasi pasir laut.

"Bapak-Ibu harus keliling. Ini kan partner kerja, mestinya kalau kita diserang dari luar, bantuinlah. Caranya harus datengin itu, yang reklamasi-reklamasi itu yang dekat sama kita juga dilihat bisa kok. Dari mana ini barang, jangan-jangan satu atau dua pulau hilang. Itulah filosofinya kemudian diterbitkan, kami usulkan," jelasnya.

Kritikan anggota DPR di halaman berikutnya.

Sebelumnya sejumlah anggota Komisi IV DPR RI mempertanyakan transparansi awal penyusunan PP tersebut, bagaimana pemerintah menjamin bahwa aturan tersebut tidak merusak lingkungan dan tidak merugikan nelayan serta masyarakat pesisir.

Hal ini pertama disampaikan oleh anggota Komisi IV DPR RI Azikin Solthan dari Fraksi Gerindra. Ia mengatakan bahwa para nelayan dan masyarakat pesisir saat ini tengah resah akan aturan tersebut karena khawatir akan melegalkan tambang pasir laut di semua tempat di Indonesia.

Menurutnya, dalam jangka panjang aturan tersebut akan berdampak serius pada ekologi wilayah di pesisir dan di laut. Jika merusak ekologi laut dampaknya juga akan menurunkan hasil penangkapan oleh nelayan.

"Dalam jangka panjang hal ini akan berdampak serius pada krisis ekologis wilayah pesisir dan laut. Juga kerusakan ekosistem biota laut yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Kami ingin mendapatkan kejelasan dengan terbitnya PP nomor 26/2023 tersebut, serta meminta agar PP ini dapat ditinjau kembali dengan meminta masukan dari pihak pemangku kepentingan," katanya dalam rapat dengan KKP di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (12/6/2023).

Selain itu, anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Slamet juga mempertanyakan bagaimana awal pemerintah dalam menyusun PP No 26/2023 ini. Ia meminta pemerintah transparan apa saja dasar pembentukan aturan serta bagaimana pemerintah meyakinkan bahwa aturan itu bukan menguntungkan sekelompok orang saja.

"Saya tidak melihat RPP yang melibatkan publik. Kami tahunya kan tahu-tahu muncul PP, kalau PP kan minimal ada angin-angin sayup mau ada PP ini. Sehingga ini kemudian membuat kami kecurigaan apalagi setelah kami membaca isinya, kami juga print out. Kami dalam itu. Kami juga tidak menolak niat baik pemerintah, tetapi jangan sampai tidak transparansi, ini ada penumpang gelap dalam PP ini," katanya.


Hide Ads