Setelah kepercayaan muncul, biasanya para korban ini akan dimasukkan ke dalam grup Telegram dengan penugasan kerja yang cukup rinci. Di sanalah, psikologis korban akan ikut dipengaruhi dengan keaktifan sesama anggota grup sehingga korban terdorong untuk semakin banyak bekerja dan tak sungkan membayarkan sejumlah uang.
"Mereka pakai strategi pinter, psikologis. Mereka fomo 'oh kok orang beli, nanti gue ketinggalan nih'. Nanti gue nggak dapet untung, padahal orang-orang di situ setingan semua," kata Alfons.
"Awalnya dikasih uang kecil, lalu dipancing seakan-akan investasi dengan keuntungan besar 30%. Lalu kalau dia kejebak gitu, uangnyaa ketahan. Kalau ke setor, nggak bisa ditarik," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas hal ini, Alfons berharap pemerintah bisa mengambil sejumlah langkah antisipasi. Salah satunya dengan memperketat pengawasan di industri perbankan lewat audit khusus terhadap perbankan tempat rekening-rekening bodong tersebut berada.
"Kalau saya lihat kunci efektifnya kita meminta bank untuk memonitor penyalahgunaan KTP palsu ini. Kalau bisa dimonitor, ini akan bisa tertekan banyak sekali. Karena kalau tidak, ini kasusnya akan luar biasa banyak, kepolisian juga akan keteteran," ujarnya.
"Kalau data udah bocor, kita nggak bisa tarik, nggak bisa batal. Dengan kondisi hari ini, menurut saya itu yang bisa kita lakukan," sambungnya.
(hns/hns)