Bos Garuda Kritik Tarif Batas Pesawat: Untung Minim, Pengawasan Kurang

Bos Garuda Kritik Tarif Batas Pesawat: Untung Minim, Pengawasan Kurang

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 14 Jul 2023 11:59 WIB
Dirut Garuda Indonesia
Foto: Screenshoot 20detik
Jakarta -

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengeluhkan tarif penerbangan domestik tak bisa dijual bebas. Menurutnya, aturan soal tarif batas atas dan tarif batas bawah (TBA-TBB) membuat maskapai sulit menentukan harga jual.

Hal ini berpengaruh kepada keuntungan yang didapatkan. Menurutnya, secara bisnis tarif yang dibatasi membuat perusahaan sulit mendapatkan keuntungan secara optimal. Belum lagi, banyak maskapai yang tak manut pada aturan ini.

"Domestik itu terikat di rezim TBA-TBB, harga itu kita nggak bisa jual bebas. Kalau di satu rute diterapkan satu harga yang maksimum terus kita terbangkan isi 90% dan juga masih minus kan, cuma orang bodoh yang mau terbang lanjutan," ungkap Irfan ketika berbincang bersama detikcom di kantornya, Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keluhan ini, menurut Irfan sudah berkali-kali diadukan ke Kementerian Perhubungan. Irfan menyarankan agar ketentuan tarif batas dihilangkan saja. Cuma selama ini memang usulan itu ditolak mentah-mentah Kementerian Perhubungan sebagai regulator.

"Makanya kita juga terus menerus pembicaraan ke Kemenhub, kita menganggap bahwa sebaiknya itu tarif lebih dibebaskan dalam menentukan harga. Selama ini sih memang ditolak," ujar Irfan.

ADVERTISEMENT

"Kita sih masih diskusi terus daripada Anda salah mending dibuka aja, sehingga kita bisa jual di harga yang menurut kita menguntungkan," katanya.

Irfan sendiri mengatakan pihaknya sudah menyarankan hal lain apabila penghapusan ketentuan tarif batas tidak diperbolehkan. Salah satunya adalah kenaikan tarif batas atas agar maskapai bisa lebih leluasa untuk mencari tarif yang lebih menguntungkan. Usulan itu pun diterima, namun sudah sejak lama pembahasannya tak kunjung rampung.

"Kita ya coba juga itu (usul menaikkan tarif batas) karena akhirnya nggak dikasih kalau kita minta dihapus. Ya, sedang ada diskusi memang. Kita masih nunggu juga sih belum ada kelanjutan," beber Irfan.

Dia juga mengeluhkan, selama ini aturan tarif batas pengawasannya masih minim. Buktinya, Irfan mengatakan ternyata banyak sekali maskapai lokal yang menetapkan harga di atas tarif batas atas.

Sejauh ini maskapai itu masih bisa saja melenggang tanpa terkena sanksi ataupun hukuman. Teguran pun diberikan hanya sekadar teguran tanpa ada kelanjutan aksi nyata pengawasan dari pemerintah.

"Sampai sekarang setahu saya masih banyak juga maskapai jual di atas harga nggak diapa-apain, bingung juga saya. Kita nggak boleh jual di atas harga ini, tapi ada maskapai yang jualan di atas harga terbang terus. Dikasih peringatan, ya peringatan aja. Padahal secara UU katanya kalau lewat beberapa hari nggak boleh terbang. Kok masih bisa? Heran saya," ungkap Irfan.

Terbang Memang Mahal

Sebagai maskapai, Irfan punya pandangan lebih baik pemerintah sebagai regulator tak perlu mengatur penarifan yang merupakan domain komersial. Regulator utamanya hanya mesti mengatur dua hal, pertama urusan keamanan terbang dan kedua soal hak untuk konsumen.

"Tapi pada dasarnya begini, menurut saya sebagai pelaku industri, regulator itu semestinya mengatur dua urusan utama, terkait dengan safety yang nggak boleh dilanggar sama pelaku dan pemain industri ini, yang kedua mengenai hak konsumen. Urusan komersial semestinya nggak perlu diatur lah," kata Irfan.

Menurutnya, terbang memang mahal. Ungkapan itu bukan cuma isapan jempol biasa. Pasalnya, untuk menjaga armada tetap prima dan keamanan operasional bisa terjaga butuh biaya besar bagi maskapai.

"Terbang kan memang mahal, perawatannya segala macam, keamanannya. Ini kan bukan mobil, kalau mobil mogok ya kita bisa minggir sebentar. Ini kan nggak bisa. Terbang itu memang mahal, terbang nggak buat semua orang, kita juga heran kalau ada yang jual kelewat murah," jelas Irfan.

Lebih lanjut, secara statistik menurutnya pun tak lebih dari 5% masyarakat yang benar-benar bisa dan mampu berpergian memakai pesawat. Masih banyak alternatif yang bisa digunakan masyarakat untuk berpergian.

"Ketika publik marah naik pesawat ke Surabaya misalnya, 'kok jadi mahal sekali sekarang?' Ya naik kereta aja kalau bisa. Kita ada datanya, di bawah 5% orang Indonesia yang gunakan pesawat, ini memang bukan untuk semua orang," ujar Irfan.



Simak Video "Video: Mengulik Kecanggihan Fitur Find My yang Dipakai Penumpang Garuda Lacak iPhone"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads