Pemerintah akan memisahkan aturan penjualan di platform social commerce dengan penjualan di platform e-commerce. Dengan begitu setiap media sosial yang juga menyediakan transaksi jual beli nantinya harus memiliki izin usaha perdagangan. Saat ini social commerce di Indonesia adalah TikTok Shop.
Pemisahan aturan ini nantinya akan dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 50 mengatur ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE) yang masih dalam tahap penyelesaian.
Menanggapi hal tersebut Peneliti Center of Digital Economy INDEF Izzudin Al Farras Adha mengatakan keputusan pemisahan aturan dagang penjualan di social commerce dengan e-commerce ini sudah tepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut saya rencana ini sudah tepat untuk memisahkan (izin dagang) antara social commerce dengan e-commerce supaya treatment-nya nanti juga berbeda," kata Izzudin kepada detikcom, Selasa (8/8/2023).
Sebab menurutnya selama ini aturan terkait penjualan di kedua platform digital ini masih sama. Padahal social commerce memiliki cara atau model berjualan yang berbeda dengan e-commerce. Terlebih mengingat sejauh ini transaksi penjualan di social commerce seperti TikTok Shop masih belum memiliki aturan.
Sebagai contoh dari segi algoritma, social commerce dapat melihat tren produk yang sedang nge-trend di media sosial. Melalui data tersebut perusahaan dapat melihat tren belanja masyarakat saat ini.
"Dengan adanya data media sosial di social commerce itu membuat mereka punya data yang sangat banyak untuk melihat preferensi on demand," jelasnya.
Di sisi lain, menurut Izzudin data semacam ini tidak dimiliki oleh e-commerce pada umumnya. Hal ini dirasa membuat persaingan dagang digital menjadi kurang berimbang.
"Katakanlah e-commerce yang lain kan tidak punya data seperti itu, tidak punya data dari media sosial, misal hanya data dari pencarian atau rekam transaksi yang lalu," tambahnya.
Jadi dengan dibedakannya aturan main antara social commerce dengan e-commerce, Izzudin merasa transaksi penjualan online di masing-masing platform tersebut ke depannya menjadi setara dan berimbang.
Senada, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan ide pemisahan social commerce antara sosial media dan platform e-commerce adalah pilihan yang tepat.
Menurut dia pengawasan jadi lebih mudah karena tidak campur campur. e-commerce diawasi Kemendag sementara sosial media di Kemenkominfo. Pengaduan dari merchant dan konsumen juga jadi lebih cepat ditangani. "Kalau campur-campur memang menguntungkan platform tapi sebenarnya jadi celah pengawasan karena abu abu," jelas dia.
Pengawasan algoritma itu bisa dilakukan lewat penegasan di revisi Permendag bahwa e-commerce boleh berjualan barang impor maksimum 30%, sisanya harus lokal. Dengan porsi yang tegas, pihak platform tidak bisa bermain algoritma untuk promosikan barang impor bahkan yang dikhawatirkan platform jualan langsung barang impor yang mematikan UMKM, itu semua bisa dicegah.
"Bisnis seperti Tiktok shop harus dikategorikan ke e-commerce karena prinsipnya sama, ada perdagangan elektronik. Kalau tidak disamakan dengan aturan e-commerce persaingan jadi tidak karuan, mulai dari banting harga jor-joran dan mematikan pedagang lain," ujarnya.
(kil/kil)