Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) melangsungkan audiensi bersama sekitar 40 penjual atau seller platform online. Para seller yang berjualan lewat TikTok Shop hingga Tokopedia ini meminta perlindungan dari serbuan produk impor asal China.
Ditemui usai pertemuan, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, sejumlah seller telah menyampaikan keluh kesahnya berkenaan dengan banjir produk impor di platform online. Kondisi ini menyebabkan produk lokal kesulitan bersaing lantaran harga produk impor yang ditawarkan terbilang sangat murah.
"Tadi kita dengar langsung mereka sudah nggak bisa bersaing dengan produk-produk dari luar, dari China, yang masuk lewat e-commerce cross border. Dan ini saya kira bukan sekedar revisi Permendag 50 Tahun 2020 perdagangan elektronik, tapi ini juga nggak ada playing field yang sama, perlakuan yang sama mengenai tarif-tarif biaya masuk," kata Teten, dalam konferensi pers di Kemenkop UKM, Jakarta Selatan, Senin (14/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teten mengatakan, hasil audiensi tersebut akan menjadi masukan baru yang akan ditelaahnya lebih mendalam. Selain itu, dari pertemuan tersebut juga dihasilkan dua usulan baru dari Kemenkop UKM. Pertama, meminta adanya kenaikan bea masuk untuk produk luar.
"Tadi saya lihat sendiri harganya nggak masuk akal. Sudah ada predatory pricing itu memang karena kita terlalu longgar, pasar kita terlalu longgar, sehingga barang mereka bisa masuk ke sini dengan harga semurah-murahnya," ujarnya.
Usulan kedua, produk-produk impor bermuara di pelabuhan yang jauh, misalnya pelabuhan di Sorong, Papua, sehingga, dari sana produk-produk tersebut akan kena ongkos lagi, dengan begitu produk di dalam negeri masih bisa kompetitif.
"Tol laut yang juga proyeknya pak presiden juga menjadi jalan karena selama ini muatan hanya dari barang. Nah, ini yang saya kira cara kita melindungi," ujarnya.
Sementara itu, pengusaha konveksi asal Bandung, Syukur, menjadi salah satu seller platform online yang merasakan langsung imbas dari serbuan produk impor. Syukur mengatakan, konveksinya bahkan sampai 'tiarap' atau rugi besar akibat kondisi ini.
"Kami konveksi kecil sulit menyaingi barang-barang China. Contohnya sweater, itu kami tidak bisa dan tidak mungkin menyaingi. Jadi konveksi kami harus tiarap," katanya, yang turut hadir di lokasi.
Syukur mengatakan, yang memberatkannya adalah harga produk-produk asal China itu dijual terlalu murah. Sebuah sweater bisa dijual dengan harga Rp 25.000-40.000, yang tidak menutup harga pokok penjualan (HPP).
"Penurunannya bisa sekitar 30-50%. Malahan sekarang kita berfokus ke produk lain, karena tidak bisa bersaing. Jadi bisa disebutkan, tutup lah untuk usaha yang sebelumnya," jelasnya.
Syukur menjelaskan, yang membuat kondisi ini sangat berpengaruh lantaran TikTok menjadi pasar terbesar di level platform online saat ini. Oleh karena itu, penjualannya terdampak cukup besar walaupun ia juga berjualan dari platform lain selain TikTok Shop.
(ara/ara)