Jakarta -
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka opsi hybrid working demi mengatasi polusi di Jabodetabek. Hal ini disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas yang berlangsung hari ini.
Terkait ini, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kadin, Sarman Simanjorang buka suara. Ia meminta pengusaha dilibatkan kalau pemerintah mengeluarkan regulasi terkait kebijakan hybrid working.
"Kami juga kalau pemerintah buat regulasi, kami berharap ada keterlibatan dunia usaha supaya kita sama-sama menyusun, karena ini adalah langkah alternatif yang perlu dilakukan saat ini," katanya kepada detikcom, Senin (14/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya untuk menerapkan opsi hybrid working, termasuk Work From Home (WFH), perlu ada regulasi dari pemerintah. Dengan begitu pengusaha bisa memiliki dasar yang kuat dalam menjalankan WFH.
Batasan terkait sektor mana saja yang bisa menerapkan WFH juga perlu diperhatikan. Apalagi Sarman menyebut tidak semua bidang pekerjaan bisa menerapkan WFH karena harus bertemu fisik dengan pelanggan.
"Karena kalau kita lihat perusahaan ada yang harus masuk kantor, karena berurusan dengan customer misalnya yang harus ketemu fisik. Kemudian pelayanan pelayanan customer service misalnya. Dan juga mungkin seperti hotel restoran, kafe, UMKM misalnya, pedagang ritel, ini kan mau tidak mau berhadapan dengan customer atau konsumen," bebernya.
Yang jelas, Sarman menyebut memahami kekhawatiran Jokowi akan kondisi udara yang akhir-akhir ini menjadi sorotan. Tetapi tetap diperlukan regulasi supaya pengusaha bisa menjalankan aturan tanpa ada kecemburuan di kalangan karyawan.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Di sisi lain, Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai kebijakan WFH tidak cukup mengatasi polusi udara. Justru, kata dia, solusi yang diperlukan adalah menata dan memperbaiki transportasi publik di Ibu Kota.
"Begini, pemerintah itu mestinya akar masalahnya diberesin bukan setengah-setengah. Mau nanti WFH atau apa pun, oke lah. Tapi akar masalahnya dulu diberesin. Selama akr masalah nggak diberesin nanti kebijakan bisa terengah-engah. Akar masalahnya apa, kan orang banyak menggunakan kendaraan pribadi," jelasnya.
"Kebijakannya jangan setengah-setengah. Nanti terengah-engah. Kebijakan yang dikeluarkan sekarang itu tidak akan menyelesaikan masalah, itu hanya persoalan hulu, kita atasi persoalan hilirnya, akar masalah," tambahnya.
Menurutnya mengatasi polusi udara memang perlu penyelesaian jangka panjang. Ia mencontohkan KRL dan TransJakarta yang bisa menarik banyak penumpang setelah bertahun-tahun dikembangkan.
Hal tersebut tak lepas dari perbaikan yang terus dilakukan sehingga masyarakat mau menggunakan transportasi umum. Harga murah menjadi faktor lain yang membuat masyarakat beralih dari kendaraan pribadi.
"Jakarta memberesi TransJakarta kan jangka panjang, tapi dia beresin tahun 2004, sekarang baru kelihatan bisnya, 20 tahun. Jadi bukan jangka panjang nanti, sekarang diberesin tapi polusinya penyelesaian jangka panjang. Tapi mulai sekarang digerakan. Jangka panjang bukan nanti, tapi sekarang dikerjakan," jelasnya.
Djoko juga menanggapi opsi 4 in 1 atau minimal 4 orang dalam 1 mobil yang disebutnya tidak akan berpengaruh. Hal ini tak lain dari pengalaman kebijakan 3 in 1 yang pernah diterapkan di Jakarta.
"Halah itu (WFH) nanti nggak ngaruh nggak, nggak ngaruh, saya yakin. Kebijakan 4 in 1, ah kacau lagi. Dulu 3 in one sudah bermasalah," tuturnya.
Ia juga menampik pernyataan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang menyebut 40% polusi berasal dari kendaraan. Menurut Djoko, sebelum pandemi saja kendaraan umum menyumbang sekitar 70% polusi.
"Saya perkirakan di kota itu paling tinggi kendaraan lah, lebih dari 40%. 3 tahun yang lalu sebelum pandemi 70% kok bisa sekarang 40% itu gimana coba. Sebelum pandemi 70% kok bisa turun angkanya gimana. Pabrik di mana di Jakarta, kan di daerah pinggiran. Adanya pabrik tahu dan tempe kan kecil," kata Djoko.
Dalam data yang dipaparkannya, insentif kendaraan listrik yang diusulkan Kementerian Perindustrian adalah Rp 12,3 triliun. Ia menilai akan lebih baik jika dana sebesar itu dialihkan untuk perbaikan transportasi publik.
"Presiden ambil alih yang Rp 12 triliun itu berikan perbaikan public transport, jangan untuk motor. Motor listrik pembelinya juga jarang. Mobil juga mahal. Kita itu tiru Eropa, tapi keliru. Di Eropa itu kenapa mobil (listrik) sekarang, karana public transportnya sudah bagus," pungkasnya.