ASEAN Business and Investment Forum (ABIS) 2023 masih berlangsung hingga hari ini. Forum ekonomi ini tidak hanya mengundang pemimpin negara, tapi juga tokoh dari berbagai agama di Asia Tenggara.
Ketua ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) Arsjad Rasjid menekankan pihaknya membawa visi untuk memastikan pertumbuhan bagi semua individu dan komunitas di ASEAN. Karenanya seluruh perencanaan dan strategi pembangunan kawasan, harus dapat merefleksikan aspirasi semua warga di ASEAN.
"Itu kenapa kita secara inklusif merangkum suara mulai dari akademisi hingga pemimpin agama," kata Arsjad di gelaran ABIS hari kedua di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (4/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Arsjad, ini adalah kali pertama forum ekonomi menghadirkan pemuka dari agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, hingga Hindu.
Adapun salah satu tokoh yang turut memberikan materi, yaitu Ketum PBNU Gus Yahya Cholil Staquf. Gus Yahya menegaskan ASEAN memiliki potensi untuk menjadi episentrum pertumbuhan. Apalagi kawasan Asia Tenggara memiliki sumber daya alam yang kaya serta populasi besar.
Namun sebelum bisa melaju sebagai epicentrum of growth, kata dia, masyarakat harus berupaya untuk menjadikan ASEAN sebagai episentrum perdamaian, toleransi, dan harmoni. Ketiga hal tersebut dinilainya krusial untuk menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat, yang diperlukan dalam menjalankan strategi ekonomi.
"Pada kenyataannya, ekonomi hanya dapat bekerja dengan baik apabila kita memiliki stabilitas yang memadai, dan keamanan yang memadai di masyarakat kita. Ini merupakan suatu prasyarat untuk menjadikan episentrum pertumbuhan. Kita perlu menciptakan suatu kondisi di mana ASEAN memiliki stabilitas dan keamanan memadai di antara masyarakatnya," paparnya.
Di sisi lain, Gus Yahya meyakini negara ASEAN dapat menjaga kerukunan dan harmoni di tengah kondisi masyarakat yang heterogen. Dia pun mencontohkan keberhasilan Indonesia untuk mencegah timbulnya konflik, meski dengan karakteristik masyarakat yang terdiri dari beragam etnis, budaya dan agama.
"Masyarakat kita dibandingkan masyarakat dunia yang lain, relatif damai. Di Indonesia, kita menggunakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai moto negara. Berbeda tapi tetap satu. Karena terlepas dari sifat heterogen, kita memiliki keyakinan bahwa kita bisa mengelola semua perbedaan, dan menjadikannya sesuatu yang harmonis," pungkasnya.
Selain Gus Yahya, turut hadir Vice Chairman of Tzu Chi Foundation Indonesia Franky Widjaja dan Advisor for Buddhist World University Venerable Phra Anil Sakya.
(ega/ega)