Social Commerce Bikin UMKM Megap-megap?

Social Commerce Bikin UMKM Megap-megap?

Samuel Gading - detikFinance
Senin, 18 Sep 2023 13:32 WIB
Ilustrasi Bisnis UMKM
Ilustrasi bisnis UMKM - Foto: Shutterstock
Jakarta -

Penjualan barang lewat media sosial atau social commerce akhir-akhir ini ramai dibahas di permukaan publik. Pemerintah menganggap bahwa social commerce dapat menimbulkan dampak negatif terhadap produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Betulkan demikian?

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, mengatakan social commerce memang berpotensi membahayakan karena tidak terpantau. Sebab, Piter melihat kegiatan perdagangan dan media sosial terkesan tidak terpisahkan.

"Tidak bisa dibedakan antara yang media sosial dan yang melakukan transaksi usaha. Ini berbeda dengan pelaku e-commerce yang terdaftar di aplikasi," kata Piter kepada detikcom Senin (18/9/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari aspek keamanan, ia pun melihat pembeli akan sulit untuk mempersoalkan pengelola media sosial jika terjadi persoalan dalam transaksi. Hal ini berbeda dengan aplikasi e-commerce yang menyediakan mekanisme yang jelas.

"Maraknya perdagangan di social commerce juga bisa menjadi pintu untuk barang-barang impor ilegal," jelas Piter.

ADVERTISEMENT

Sementara menurut Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, mengaku setuju dengan pernyataan pemerintah bahwa social commerce bisa merugikan pelaku UMKM. Hal ini disebabkan tidak semua pelaku UMKM melek media sosial. Belum lagi pedagang produk lokal yang selama ini bergantung pada pasar konvensional.

"Karena tidak bermain di kanal itu. Permintaan pasar terhadap produk mereka bisa menurun dalam jumlah besar. Apalagi kalau harga jualnya di bawah HPP. Tentu daya saingnya jadi ketinggalan jauh," ucapnya.

Adapun terkait isu harga murah di social commerce, Ahmad melihat bahwa ada tiga hal yang bisa mengakibatkan hal itu. Pertama, adalah asal muasal barang yang didatangkan dari luar negeri dalam jumlah besar.

Kedua, kapasitas finansial penjual untuk menahan untung dalam rangka menciptakan kepercayaan konsumen dalam jangka panjang. Dan terakhir, adalah strategi marketing.

"Dengan asumsi kualitas barang yang sama, pedagang tersebut bisa menciptakan permintaan dengan membuat harga murah dalam waktu lama. Pada tahap ini, trust terhadap konsumen pun terbangun. Artinya untungnya tipis tapi karena dibeli dalam jumlah besar untungnya lama-lama meningkat. Tapi cara ini membunuh pasar yang ada," ujar dia.

Oleh sebab itu, Piter Abdullah dan Tauhid Ahmad sama-sama sepakat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) harus dilakukan pemerintah. Peraturan itu akan berguna sebagai aturan yang main yang memperjelas posisi kanal media sosial dan perdagangan digital.

Sebelumnya Pengamat Brand dan Pemasaran, Yuswohady, awalnya menggambarkan fenomena belanja di social commerce seperti arisan. Sebab, penjual membeli produk dari orang-orang yang sudah dikenal.

Karena ada interaksi yang intim antara pembeli dan penjual, social commerce bisa membuat dampak positif karena bisa meningkatkan branding image sebuah produk."Artinya kita sudah kenal semuanya dan ini adalah komunitas kita. Akun sellernya ini, penjual, akun media sosial ini milik dia. Account-nya di kita (penjual), database-nya di kita, customer-nya juga dekat ke kita," tuturnya.

Kendati demikian dalam kurun Agustus-September 2023 ini, pemerintah mengeluarkan pernyataan mengkritisi kehadiran social commerce. Hal ini terjadi karena sejumlah social commerce disebut menjual produk impor di bawah harga pokok penjualan (HPP). Harga barang di social commerce yang terlalu murah disinyalir menyebabkan pelaku UMKM sulit berkompetisi.

"Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Ada yang jualan jilbab Rp 20 ribu dapat empat sementara HPP (harga pokok penjualan) UMKM kita itu satu jilbab Rp 15 ribu," ungkap Direktur Pemasaran SMESCO Wientor Rah Mada. "UMKM selalu mengeluh ke kami," bebernya.

(kil/kil)

Hide Ads