Dilema Pedagang Tanaman Saat Kemarau: Dibuang Rugi, Diselamatkan Modal Bengkak

Dilema Pedagang Tanaman Saat Kemarau: Dibuang Rugi, Diselamatkan Modal Bengkak

Ignacio Goerdi Oswaldo - detikFinance
Minggu, 08 Okt 2023 13:45 WIB
Pedagang Tanaman saat Kemarau
Foto: Ignacio Geordi Oswaldo/detikcom
Jakarta -

Sedikitnya curah hujan yang jatuh membasahi tanah di Bumi Pertiwi membuat para pedagang tanaman hias pinggir jalan harus bekerja ekstra dalam merawat barang dagangannya. Bagaimana tidak, panas terik matahari di siang hari yang terasa terasa membakar kulit juga bisa membuat tanaman-tanaman yang akan dijual mati kekeringan.

Seorang penjual tanaman hias di kawasan Babelan, Kabupaten Bekasi, bernama Jaku (37) misalkan. Ia harus memberikan perhatian lebih untuk tanaman-tanaman yang akan dijualnya agar tidak mati 'ditelan terik matahari'.

Untuk mengatasi hal ini, ia yang biasa menyiram tanaman-tanaman itu sehari sekali jadi dua kali dalam sehari. Selain itu ia juga harus lebih memperhatikan intensitas terpaan sinar matahari yang bisa membuat sejumlah tanamannya kering.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pengaruhnya (musim kemarau panjang) ya kalau kurang siram pada mati. Harus banyak air kalau gini. Sehari nyiramnya jadi dua kali, kalau nggak lagi kemarau paling cuma sekali. Kalau nggak gitu pada gosong, mati," katanya kepada detikcom saat ditemui Kamis (5/10/2023).

Sayangnya, meski sudah bekerja lebih untuk merawat tanaman-tanaman ini agar tidak mati, Jaku mengaku banyak orang yang enggan membeli tanaman hias di tengah musim kemarau yang sepi hujan ini. Sebab banyak calon pembeli merasa khawatir tanaman yang dibelinya akan mudah mati.

ADVERTISEMENT

Menurutnya, curah hujan yang sedikit dan panas terik juga mengharuskan calon pembeli untuk memberi perawatan lebih terhadap tanaman yang dibelinya. Kondisi ini sangat berbeda saat musim hujan di mana tanaman dapat tumbuh subur dengan sendirinya tanpa perlu diberi perhatian lebih.

"Kalau kaya gini kan (tanaman) jarang peminatnya kalau musim panas, takut mati kan orang gitu. Kalau musim hujan kan kembangan pada subur-subur, gak disiram lagi juga subur tanaman," ungkap Jaku.

Selain itu, selama musim kemarau banyak tanaman yang tampak kering dengan daun-daun menguning siap berguguran. Penampakan tanaman yang seperti ini membuat calon pembeli semakin ragu mengeluarkan isi dompetnya. Padahal menurut Jaku kondisi tanaman seperti ini merupakan hal yang biasa saat musim kemarau dan terjadi setiap tahun.

"Iya kadang-kadang (kondisi tanaman terlihat) kurang itu, entar pada rontok semua ini mah. Ya entar rontok semua ganti daun baru. Nggak ada masalah yang penting siram," jelasnya.

Akibatnya tidak sedikit tanamannya yang sudah mati lebih dulu sebelum laku terjual. Khususnya untuk tanaman-tanaman hias kecil seperti berbagai jenis bunga.

"Kalau kemarau gini ada saja yang mati, namanya juga barang hidup kan gitu. Ya kebanyakan kembang-kembang yang kecil, kaya mawar, kaya melati gitu," keluh Jaku.

"Ya kadang (mati) empat kadang lima, tergantung ininya (jumlah pembeli) gitu kalau laku. Kalau masalah ini kita kan kembali lagi sama rezeki, kalau pas lagi banyak (sedikit yang mati) kalau nggak laku ya kebuang, mati. Kalau lakunya banyak ya sisanya dikit jadi kita juga nggak bisa nentuin gitu yang mati berapa yang hidup berapa," tambahnya lagi.

Sebenarnya Jaku sendiri mengaku masih bisa mengupayakan agar tanaman-tanaman yang dijualnya tidak mati akibat kemarau panjang. Misalkan saja memindahkan tanaman ke media tanam lain dan memberi pupuk tambahan untuk nutrisi tanaman.

Sayangnya hal ini tidak ia lakukan karena upaya tersebut membuat ongkos perawatan menjadi lebih mahal. Menurut Jaku kondisi ini bisa membuat ongkos dengan harga jual tanamannya jadi tidak sesuai.

"Ya biasanya bisa ganti media (tanam) ya dirawat lagi, kasih pupuk gitu, bisa hidup lagi (tanamannya). Cuman kalau masalah itu kan modalnya gede lagi, nggak sesuai sama penjualnya (harga jual tanaman) gitu," ucapnya.

Padahal tanaman yang dirawatnya itu belum tentu laku terjual. Karenanya untuk menghindari kerugian yang lebih besar atau 'rugi bandar', Jaku memutuskan lebih baik membuang tanaman-tanaman yang akan mati daripada mempertahankannya.

"Harganya murah kalau dirawat di urusin ya jatuhnya mahal. Jadi masih mending kita buang aja, mati misalkan gitu," tutur Jaku.

(das/das)

Hide Ads