Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, Indonesia butuh pasangan Bacapres-Bacawapres yang memiliki lima kriteria. Pertama, memahami konteks ekonomi global yang maju, khususnya dalam kerjasama transisi energi, ekonomi berkelanjutan, pangan, hingga transformasi digital.
Kedua, mampu merangkul negara kawasan khususnya di tingkat ASEAN dalam pembangunan bersama, sehingga tidak ikut arus kepentingan China yang berlawanan dengan negara-negara barat. Ketiga, mampu membagi tugas antara Bacapres dan Bacawapres dalam aspek ekonomi.
"Misalnya pembagian antara komunikasi dengan pengusaha atau investor domestik melawan asing. Komunikasi yang handal diperlukan untuk mencapai kolaborasi ideal," ucapnya kepada detikcom, Senin (23/10/2023).
Kriteria berikutnya, adalah memberikan porsi yang lebih besar untuk persoalan ketimpangan. Menurut Bhima, hal ini khususnya diperlukan bagi berbagai daerah di luar Pulau Jawa. Namun, solusi diharapkan tidak hanya sekadar berupa bantuan sosial.
"Tapi juga perlindungan sosial secara utuh seperti reformasi BPJS dan lain sebagainya," bebernya.
Lalu kriteria terakhir, mampu memaksimalkan peran anak muda usia produktif untuk masuk ke pasar tenaga kerja yang lebih berkualitas.
Pengamat ekonomi lain yakni Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, mengatakan bahwa Bacapres-Bacawapres yang ideal adalah yang mampu memastikan rencana pertumbuhan ekonomi Indonesia secara proporsional. Lebih tepatnya, mampu mendorong ekonomi secara realistis di tengah situasi geopolitik global.
"Jadi bisa menggenjot pertumbuhan, tapi tidak janji-janji surga atau mengawang-ngawang," tegasnya.
Faktor lainnya, adalah Bacapres dan Bacawapres mampu mendorong daya beli masyarakat dengan membenahi industrialisasi. Menurutnya, dua faktor ini penting sebab daya beli masyarakat menyumbang sebanyak 51% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Ketika daya beli bisa dijaga dengan angka inflasi yang cukup rendah, maka hal itu akan sangat membantu Indonesia.
Sementara perihal industrialisasi, menurut Nailul, adalah solusi untuk setidaknya tiga masalah yakni optimalisasi industri, penurunan pengangguran, dan meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, perbaikan industrialisasi bakal menjadi obat ampuh untuk berbagai persoalan bangsa saat ini.
"Industri bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dengan tenaga kerja lebih banyak, kemiskinan bisa berkurang signifikan. Ini menyelesaikan persoalan sosial lainnya," bebernya.
Selain itu, Nailul mencatat bahwa saat ini jumlah pengangguran memang turun namun banyak beralih ke sektor informal. Dari total 100% tenaga kerja, ia mengatakan setidaknya 61% di antaranya adalah pekerja informal.
Menurutnya, hal ini bisa menjadi ancaman. Sebab, pekerjaan informal belum tentu memberikan perlindungan sosial yang bagus. Upah di sektor tersebut juga relatif lebih rendah.
Adapun kriteria terakhir, menurut alumni Program Magister Kebijakan Publik Universitas Indonesia ini, adalah mampu menguatkan pengaruh ekonomi Indonesia di kancah global. Bacapres dan Bacawapres diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam forum perumusan kebijakan global seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) sekaligus menjadi pemain utama di global supply chain atau rantai pasokan dunia.
Jika semua hal ini dilakukan, Indonesia tentu tidak hanya mempunyai daya tawar secara politik , namun juga secara ekonomi. Inilah, ucapnya, yang disebut sebagai daya tawar geoekonomi.
"Meningkatnya peran ekonomi Indonesia berarti meningkatnya daya tawar politik. Kita bisa menjadi penengah terhadap berbagai persoalan dunia seperti Hamas-Israel dan Rusia-Ukraina. Kalau sekarang, siapa yang mendengarkan? Padahal konflik-konflik itu berkaitan dengan persoalan ekonomi seperti harga gandum serta minyak dan gas migas. Jadi ini bukan hanya soal geopolitik, tapi geoekonomi juga," pungkasnya. (eds/eds)