Para penggiat industri penerbangan meminta agar pemerintah segera merevisi tarif batas atas (tba) angkutan udara. Adapun regulasi ini terakhir kali mendapat penyesuaian pada Mei 209 silam, dengan kata lain sudah sekitar 4,5 tahun ditahan.
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie mengatakan, selama 4,5 tahun ini telah banyak perubahan terjadi di industri mulai dari kenaikan harga avtur, gaji karyawan, hingga biaya fasilitas pesawat. Sedangkan maskapai sendiri belum dapat menaikkan tarifnya.
Regulasi tersebut diatur dalam Keputusan Menhub (KM) No. 106 Tahun 2019. Tatkala aturan tersebut diterbitkan, harga avtur pada kala itu Rp 9.243 per liter di Bandara Soekarno Hatta dan nilai tukar rupiah Rp 14.520 per US$.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sedangkan harga avtur yang berlaku mulai 15 Oktober s.d 31 Oktober di Bandara Soekarno Hatta saat ini adalah Rp 15.324. Bandingkan, dari Rp 9.243 sekarang Rp 15.324. Kenaikannya sudah sedemikian besar," katanya, dalam sambutannya di Seminar Hari Penerbangan Nasional di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Alvin berharap pemerintah dapat membantu untuk mencarikan solusi yang adil, baik untuk sisi maskapai yang membutuhkan keuangan yang lebih sehat, maupun sisi konsumen yang membutuhkan harga tiket terjangkau. Salah satu permintaannya ialah, agar pemerintah segera meninjau kembali kebijakan tarif batas atas yang sudah ditahan di posisi tersebut selama 4,5 tahun.
"Mohon ditinjau kembali tarif batas atas, beri ruang gerak yang lebih leluasa agar maskapai ini bisa mempertahankan kehidupannya dan juga bersaing secara sehat. Kami dukung persaingan sehat. Sudah 4,5 tahun ini, sudah saatnya ditinjau kembali," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Presiden Direktur Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi. Lewat langkah ini, ia berharap agar beban di industri penerbangan bisa berkurang lewat penyesuaian tarif. Adapun penyesuaian ini berpotensi menghasilkan kenaikan harga tiket.
"Bahkan dengan menjual batas atas pun kita masih belum untung, kalo bicara profit ya. Tapi kita harus patuh ke pemerintah, jadi kita bergerak ke situ. Mohon sekali agar bersama-bersama cari solusi supaya industri penerbangan tetap eksis," ujarnya, ditemui usai acara.
Daniel menambahkan, pihaknya juga saat ini tengah menghadapi tantangan lainnya akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan perang Hamas-Israel. Kondisi ini menyebabkan sejumlah komponen biaya operasional bisa naik.
"Kita pendekatan ke pemerintah khususnya. Jangan sampe beban terlalu berat di industri penerbangan. Karena kalau misalnya komponen paling besar untuk pesawat itu kan bahan bakar, kita aja nggak sanggup beli, otomatis dengan harga yang diatur pemerintah kita nggak sanggup gerak, kita nggak bisa jalan," pungkasnya.