Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menanggapi protes sejumlah organisasi pengusaha yang menyebut bahwa pembatasan dan larangan iklan produk tembakau atau rokok pada media penyiaran dan digital dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif bisa menyebabkan menurunnya pendapatan dan menyebabkan PHK. Menurut Kemnaker, RPP Kesehatan justru memiliki tujuan yang mulia.
"Tidak semua regulasi, apapun, mau ketenagakerjaan, kesehatan, keuangan, itu jangan selalu dikaitkan dengan PHK. Padahal regulasi hadir lebih baik," ucap Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri dalam konferensi pers pada Selasa (21/11/2023).
Indah kemudian menjelaskan, bahwa RPP Kesehatan bertujuan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di RI sehingga seluruh penduduk Indonesia memiliki akses lebih baik terhadap kesehatan. Dengan demikian, ia mengatakan warga negara Indonesia bisa lebih sehat, berkualitas, dan siap jadi generasi emas menunggu Indonesia unggul karena kesehatan jasmani dan rohaninya terjamin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu tujuan RPP kesehatan, jadi kita harus dukung," bebernya.
Oleh sebab itu, Indah mengaku yakin Kemnaker dan mitra-mitranya akan selalu mendukung RPP Kesehatan. Ia menjelaskan bahwa pihaknya sudah menyampaikan sejumlah pasal atau ketentuan yang akan berdampak pada ketenagakerjaan ke Kementerian Kesehatan dalam rapat tingkat kementerian.
Sejumlah regulasi yang jadi pandangan Kemnaker RPP Kesehatan, sebutnya, adalah 425, pasal 427, pasal 428, dan pasal 440. Contohnya dalam pasal 425, ia menjelaskan bahwa pihaknya mengusulkan agar ayat D dalam pasal itu diubah menjadi 'mematuhi standar maksimal kadar nikotin dan tar sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI)' dari 'mematuhi standar maksimal kadar nikotin dan tar yang ditetapkan oleh menteri'.
Indah mengatakan usulan ini dilayangkan karena penetapan standar maksimal nikotin dan tar oleh kementerian akan menyebabkan ketidakpastian usaha. Hal ini dikhawatirkan bisa berpengaruh terhadap industri tembakau yang pada umumnya adalah industri padat karya.
"Kami khawatir akan berdampak pada pengurangan pekerja. Kan itu hubungan yang jelas ya, kalau keberlangsungan terganggu, pekerja kami khawatirkan bisa berkurang. Kami punya pertimbangan sebaiknya SNI karena kalau SNI disusunnya sudah melibatkan seluruh stakeholder termasuk perwakilan kementerian/lembaga lain dan melibatkan pakar, konsumen, stakeholders lengkap kalau pakai SNI," jelasnya.
Selain itu, Indah mengatakan bahwa Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional yang terdiri dari unsur serikat pekerja, perwakilan dunia usaha (Apindo dan Kadin), serta pemerintah, sudah menyepakati sejumlah poin terhadap RPP Kesehatan. Ada empat sikap LKS Tripartit Nasional.
Pertama, rancangan regulasi itu wajib mempertimbangkan kondisi industri rokok, tembakau, dan makanan minuman yang mempekerjakan 5,8 juta buruh. Kedua, pasal-pasal dalam RPP Kesehatan harus diperhatikan dampaknya. Ketiga, pihaknya akan memberi masukan tertulis pada kesempatan pertama.
Keempat, LKS Nasional menyepakati bahwa pengaturan zat adiktif dalam RPP Kesehatan harus merujuk pada PP 109 Tahun 2012 Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Ini disepakati oleh Wakil Ketua Organisasi Pengusaha dari Apindo, lalu dari unsur pemerintah saya, dan dari unsur serikat pekerja adalah Afif Johan dari KSPSI Andi Ghani. Kita memiliki pandangan-pandangan yang intinya adalah kami setuju dengan tujuan RPP Kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan Indonesia. Tapi pasal-pasal yang berdampak dengan ketenagakerjaan, kami sudah menyampaikan pandangan," imbuhnya.
Sebelumnya, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Indonesian Digital Association (IDA) mengeluhkan adanya pembatasan dan larangan iklan produk tembakau atau rokok pada media penyiaran dan digital. Hal ini tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif. Menurut keduanya, pembatasan hingga larangan total iklan pada media akan merugikan perusahaan hingga miliaran rupiah setahunnya, bahkan bisa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
(ara/ara)