No Farmers, No Food, No Future

No Farmers, No Food, No Future

Angga Aliya ZRF - detikFinance
Kamis, 23 Nov 2023 17:41 WIB
Dosen Fakultas Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB)
Mantan Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag)
Foto: Muhammad Ridho: Guru Besar IPB serta Pakar Pertanian, Pangan, Energi, dan Perdagangan Bayu Khrisnamurti
Bandung Barat -

No Farmers, No Food, No Future. Pernyataan itu diungkap Guru Besar IPB serta Pakar Pertanian, Pangan, Energi, dan Perdagangan Bayu Khrisnamurti di akhir paparannya tentang ketahanan pangan.

Menurutnya, seluruh dunia termasuk negara kita perlu mulai berpikir serius mengenai ketahanan pangan. Perlu ada cara-cara baru yang dilakukan oleh Indonesia untuk mengamankan perut rakyat yang jumlahnya hampir mencapai Rp 280 juta jiwa tersebut.

"Dunia ini menuju 9 miliar jiwa manusia, ada tambahan lagi 1 miliar mulut yang harus dikasih makan. Di Indonesia sendiri akan ada tambahan 50 juta mulut lagi dalam 20 tahun ke depan," katanya dalam acara Media Gathering Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Padalarang, Kamis (23/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan wakil menteri pertanian itu menambahkan, sistem pangan yang ada saat ini sudah semakin kompleks. Ada penambahan variabel-variabel baru yang perlu diperhatikan, sehingga tidak bisa lagi sistem lama digunakan untuk mengukur sistem ketahanan pangan yang ada.

Dalam paparannya ada 5C yang mempengaruhi sistem pangan saat ini, yaitu consumer (konsumen), Climate (cuaca), Constraint (kendala), Conflict (konflik), dan COVID. Penjelasannya seperti ini.

ADVERTISEMENT

Jumlah konsumen terus bertambah, sementara cuaca pun tidak mendukung juga tidak bisa diprediksi. Di sisi lain masih ada kendala-kendala yang harus dibereskan mulai dari kendala lahan, air, tenaga pedesaan, dan lain-lain.

Belum lagi konflik geopolitik yang sampai saat ini masih berlangsung. Konflik ini mempengaruhi rantai pasok secara global juga membuat biaya kirim semakin mahal.

Belum lagi dunia masih harus membereskan masalah-masalah yang muncul akibat pandemi COVID dimulai beberapa tahun lalu.

"Food system ini makin kompleks, makin banyak unsurnya. Mengejarnya berat banget," ujarnya.

Maka dari itu, pria lulusan IPB ini menyarankan pemerintah untuk mencari cara-cara baru untuk mengejar ketahanan pangan. Cara-cara lama yang sudah digaungkan sejak jaman Orde Baru sudah usang dan tidak bisa lagi digunakan di masa kini.

Caranya dimulai dari kesejahteraan petani. Jika petani sejahtera maka proses untuk ketahanan pangan sudah mulai terasa.

"Petani ini juga jangan cuma dapat income saja, tapi harus dapat nilai tambah juga. Tidak hanya produksi dan jual saja, tapi bisa didorong untuk bisa membuat merek dan ekspor juga supaya dapat nilai tambah," tambahnya.

Cara lain, kata Bayu, pemerintah bisa memberikan insentif untuk petani-petani baru. Insentif ini harus dibuat sedemikian menarik sehingga anak-anak muda tertarik menjadi petani.

"Contohnya di Jepang itu ada insentif sekitar Rp 150 juta untuk anak muda kalau mau jadi petani. Ini menarik, daripada subsidi pupuk Rp 30 triliun terus-menerus malah membuat tanahnya jadi mati," katanya.

"Atau pemerintah bikin funding untuk startup pertanian, yang bukan cuma jualan produk hasil tani, tapi misalnya teknologi pertanian baru. Kerja sama sama bank untuk pendanaan. Ini akan jauh lebih menarik," ujarnya.

Kondisi petani di Indonesia saat ini bisa dibilang memprihatinkan. Sebanyak 60% petani di Indonesia beurumur di atas 45 tahun dengan tingkat pendidikan hanya sampai SD sebayak 72% dari total petani.

Pendapatan petania per bulan juga cuma Rp 1 juta. Maka tak heran jumlah petani sudah turun 5 juta dalam 10 tahun terakhir.

"Petani, berkurang jumlahnya, semakin tua, berpendidikan rendah dan miskin. Petani banyak kesulitan dan tantangan, dan pangan kita bergantung pada mereka," tutupnya.

(ang/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads