Sejumlah ekonom bicara mengenai penggabungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Wacana penggabungan dua lembaga ini dilontarkan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira menjelaskan, sisi positif dua lembaga tersebut digabung dan dipisah dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yakni memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan dan kebijakan cukai. Misalnya, jika pemerintah mau menerapkan pajak karbon, maka bisa langsung bisa dieksekusi.
"Kemudian mau kejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara. Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25% di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower," katanya kepada detikcom, Minggu (24/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu perluasan objek kena cukai seperti cukai plastik, minuman berpemanis dan 5 barang kena cukai baru lainnya tidak perlu menunggu lama.
"Koordinasi DJP -Bea Cukai dengan lintas lembaga jadi lebih fleksibel dan langsung dibawah Presiden sehingga kuat posisinya. Bahkan DJP bisa langsung diskusi dengan DPR soal strategi perpajakan dan target pajak," katanya.
Kelemahannya, kata Bima, proses pemisahan butuh waktu tidak sebentar. Menurutnya, ego sektoral di Kemenkeu juga penting dilihat.
"Ibaratnya kalau DJP-Bea Cukai keluar dari Kemenkeu maka hilang sebagian wewenang menteri keuangan. Padahal soal rancangan APBN dirumuskan bersama dirjen dan lembaga dibawah kendali Menkeu. Kemudian anggaran untuk pemisahan DJP juga tidak murah. Namanya bikin lembaga baru pasti ada biayanya," ujarnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut, sisi positif dari penggabungan ini adalah lembaga yang baru punya otoritas sendiri.
"Plusnya otoritasnya sendiri, target pajaknya dan sebagainya itu memang bisa bertanggung jawab presiden. Urusan kebijakan dan sebagainya presiden nanti yang kemudian memerintahkan ke Kementerian Keuangan kalau belanja dan sebagainya duitnya ada nggak," terangnya.
Dia mengatakan, fleksibilitas dari penerimaan pajak lebih banyak. Namun masalahnya, kalau tidak ada penambahan SDM, teknologi dan ruang lingkup kebijakan maka tidak akan jauh berbeda.
Persoalan lain, fungsi koordinasi dengan Kemenkeu akan semakin berkurang. Sebab, lembaga yang baru punya otoritas sendiri.
"Ketika dia berada dalam institusi nggak bisa ditekan untuk meningkatkan pajak atau sebaliknya dia bisa nekan, tapi on planning tidak bisa mendadak," katanya.
Sebelumnya, Gibran berencana melebur DJP dan DJBC jika menang dalam Pilpres. Hasil penggabungan tersebut akan membentuk Badan Penerimaan Negara di bawah komando Presiden.
Menurut Gibran hal ini dilakukan demi mempermudah koordinasi di kementerian terkait. Dengan begitu maka fokusnya hanya pada penerimaan negara saja, bukan pengeluaran negara.
"Kita akan membentuk Badan Penerimaan Negara yang dikomandoi langsung Presiden, sehingga mempermudah Kementerian-kementerian terkait. DJP dan Bea Cukai akan dilebur jadi satu, fokus ke penerimaan negara saja, tidak lagi akan mengurusi masalah pengeluaran," katanya dalam Debat Kedua Cawapres Pemilu 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, dikutip Sabtu (23/12).
(acd/rrd)