Gibran Mau Lebur DJP dan Bea Cukai, Apa Dampaknya ke Penerimaan Negara?

Gibran Mau Lebur DJP dan Bea Cukai, Apa Dampaknya ke Penerimaan Negara?

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 25 Des 2023 07:30 WIB
Gibran Sentil Cak Imin dan Mahfud MD soal IKN
Cawapres Gibran Rakabuming/Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka berniat menggabungkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) jika menang dalam pemilihan presiden (pilpres). Penggabungan DJP dan DJBC akan menjadi Badan Penerimaan Negara yang langsung berada di bawah komando presiden.

Penggabungan DJP dan DJBC diharapkan dapat mempermudah koordinasi antarkementerian. Kemudian, badan tersebut hanya fokus pada penerimaan negara saja. Apakah penggabungan dua lembaga ini mampu menggenjot penerimaan negara?

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bima Yudhistira menjelaskan, sisi positif dua lembaga tersebut digabung dan dipisah dengan Kemenkeu yakni memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan. Misalnya, jika pemerintah mau menerapkan pajak karbon, maka bisa langsung dieksekusi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kemudian mau kejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara. Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25% di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower," katanya kepada detikcom, Minggu (24/12/2023).

Selain itu perluasan objek kena cukai seperti cukai plastik, minuman berpemanis, dan lima barang kena cukai baru lainnya tidak perlu menunggu waktu yang lama.

ADVERTISEMENT

"Koordinasi DJP -Bea Cukai dengan lintas lembaga jadi lebih fleksibel dan langsung di bawah presiden sehingga kuat posisinya. Bahkan DJP bisa langsung diskusi dengan DPR soal strategi perpajakan dan target pajak," katanya.

Kelemahannya, kata Bima, proses pemisahan butuh waktu tidak sebentar. Menurutnya, ego sektoral di Kemenkeu juga penting dilihat.

"Ibaratnya kalau DJP-Bea Cukai keluar dari Kemenkeu maka hilang sebagian wewenang menteri keuangan. Padahal soal rancangan APBN dirumuskan bersama dirjen dan lembaga di bawah kendali menteri keuangan. Kemudian anggaran untuk pemisahan DJP juga tidak murah. Namanya bikin lembaga baru pasti ada biayanya," ujarnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai pemisahan DJP dan DJBC untuk menggenjot penerimaan negara tidak terlalu mendesak. Sebab, masalah penerimaan negara bukan di kelembagaan.

"Menurut saya nggak terlalu urgent karena problem-nya bukan di kelembagaan karena dua itu terpisah ataupun gabung tetap tax ratio kita masih seperti itu," katanya.

Dia mengatakan, pemisahan lembaga itu dari Kemenkeu tidak secara otomatis menaikkan penerimaan. Dia mengatakan, basis pajak (tax base) karena kebanyakan berada di sektor informal.

"Kedua sumber-sumber sektoral kita penerimaan pajak berbasis komoditas, kalau mau meningkatkan penerimaan negara kalau harga komoditas lagi rendah belum tentu juga naik," katanya.

Meski demikian, dia menyebut, sisi positif dari penggabungan ini adalah lembaga yang baru punya otoritas sendiri.

"Plusnya otoritasnya sendiri, target pajaknya dan sebagainya itu memang bisa bertanggung jawab presiden. Urusan kebijakan dan sebagainya presiden nanti yang kemudian memerintahkan ke Kementerian Keuangan kalau belanja dan sebagainya duitnya ada nggak," terangnya.

Dia mengatakan, fleksibilitas dari penerimaan pajak lebih banyak. Namun masalahnya, kalau tidak ada penambahan SDM, teknologi dan ruang lingkup kebijakan maka tidak akan jauh berbeda.

Persoalan lain, fungsi koordinasi dengan Kemenkeu akan semakin berkurang. Sebab, lembaga yang baru punya otoritas sendiri.

"Ketika dia berada dalam institusi nggak bisa ditekan untuk meningkatkan pajak atau sebaliknya dia bisa nekan, tapi on planning tidak bisa mendadak," katanya.

(acd/ara)

Hide Ads