Produsen bubble tea terkemuka di China, Mixue Bingcheng dan Guming, sedang bersaing untuk segera mengajukan pemohonan penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Hong Kong. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ekspansi secara agresif di tengah persaingan ketat.
Dilansir dari Reuters, Kamis (4/1/2024), Mixue Group dan Guming Holdings mengajukan IPO ke Bursa Hong Kong pada Selasa kemarin. Keduanya merupakan jaringan bubble tea terbesar di China berdasarkan jumlah toko pada tahun 2023.
Mixue kini memiliki sekitar 36.000 gerai dan berencana mengumpulkan US$ 500 juta s.d US$ 1 miliar, atau setara Rp 7,75 triliun s.d Rp 15,5 triliun (kurs Rp 15.500). Sementara Guming, yang punya 9.000 gerai, berencana mengumpulkan US$ 300 juta s.d US$ 500 juta atau setara Rp 4,65 triliun s.d Rp 7,75 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun sayangnya, baik Guming maupun Mixue enggan berkomentar tentang rencana IPO tersebut.
Produk bubble tea adalah salah satu bisnis dengan peluang pasar yang besar di China. Pasalnya bisnis ini memungkinkan perusahaan bisa menjalankan usaha dengan biaya rendah.
Menurut studi China Chain Store & Franchise Association, 486.000 toko bubble tea di negara tersebut memperkirakan peningkatan penjualan tahunan sebesar 40% pada tahun 2023, sehingga mencapai ukuran pasar sekitar 145 miliar yuan.
Namun dengan rendahnya diferensiasi produk, persaingan antar pemain menjadi semakin ketat. Raksasa industri lainnya, ChaBaiDao, juga mengajukan permohonan IPO di Hong Kong beberapa bulan lalu.
"Saya pikir saat ini ada desakan besar untuk melakukan IPO, karena secara umum rantai ini telah berkembang secara agresif namun harus rela kehilangan uang untuk melakukannya," kata Direktur Pelaksana di China Market Research Group, Ben Cavender.
"Siapa pun yang dapat melakukan IPO paling cepat dan mencapai posisi operasional yang stabil akan menjadi pemenang dalam jangka panjang," tambahnya.
Di sisi lain, Mixue sempat mengajukan permohonan untuk mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Shenzhen pada tahun 2022. Pada kala itu, Mixue menyasar untuk mengumpulkan sekitar 6,5 miliar yuan (US$ 909,87 juta). Tetapi belum ada pengumuman resmi mengenai kemungkinan pencatatan tersebut.
Meskipun minuman dengan harga terjangkau sangat populer di kalangan anak muda, sentimen pasar terhadap jaringan bubble tea tidak optimis. Pemulihan ekonomi China pasca-COVID secara keseluruhan mengecewakan, dan pengangguran dari golongan muda mencapai 21% tahun lalu.
Saham Nayuki (2150.HK) yang terdaftar di Bursa Efek Hong Kong, satu-satunya jaringan bubble tea yang diperdagangkan secara publik di China, telah turun sekitar 80% sejak debutnya pada tahun 2021. Padahal pada kala itu kepercayaan konsumen sedang tinggi.
Produknya cenderung lebih mahal dibandingkan beberapa pesaingnya. Menurut CIC, produk-produk utama dari lima jaringan teh segar teratas di China berdasarkan jumlah toko biasanya dihargai di bawah 20 yuan, dengan Mixue berfokus pada produk-produk dengan harga sekitar 6 yuan.
Managing Director firma riset pasar Kantar Worldpanel di Tiongkok Raya Jason Yu menilai, Mixue merupakan salah satu pesaing utama dalam pasar ini, tidak hanya di China tapi juga masuk ke sejumlah negara lainnya.
"Mereka sangat kuat dalam pengendalian biaya, namun merek mereka juga sangat kuat. Logo manusia salju mereka ada di mana-mana. Mereka melakukannya dengan sangat baik dalam membangun bisnis dengan skala global," kata Yu.
(shc/kil)