Pengusaha Ritel Keluhkan Susahnya Bangun Mal di RI

Pengusaha Ritel Keluhkan Susahnya Bangun Mal di RI

Retno Ayuningrum - detikFinance
Selasa, 16 Jan 2024 18:03 WIB
Pengunjung melintas di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, Jumat (11/11/2022). Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebutkan para pelaku usaha mulai menaikan biaya sewa mal dan service charge sekitar 5-10 persen mulai awal 2023 setelah selama hampir tiga tahun tidak ada kenaikan akibat lesunya perekonomian selama pandemi COVID-19.
Ilustrasi/Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Asosiasi Himpunan Paritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengeluhkan susahnya membangun mal di Indonesia. Hal ini disebabkan proses perizinan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Budihardjo Iduansjah Ketua Umum Himpunan Paritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengatakan kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut mengingat perdagangan ritel adalah sektor yang selama ini telah menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data yang dipaparkannya, sektor konsumsi rumah tangga (HHC atau House Hold Consumption) berkontribusi 51.87% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2022.

Menurutnya, di lapangan masih ditemukan fakta bisnis ritel masih belum mendapatkan dukungan maksimal dari pemerintah. Salah satunya, dengan pendirian satu toko mal yang membutuhkan perizinan lebih dari 50 perizinan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebagai contoh pendirian 1 toko supermarket atau pun sebuah mall memerlukan perizinan sekitar lebih dari 50 perizinan sehingga proses ekspansi menjadi sangat lambat dibandingkan negara tetangga lainnya, seperti Vietnam dan Kamboja," kata Budihardjo dalam acara Konferensi Pers Asosiasi Ritel dan Ekosistem "Kebijakan yang Tepat untuk Perdagangan Dalam Negeri", Gedung Rodenstock, Jakarta Barat, Selasa (16/1/2024).

Hal ini terbukti dari salah satu mal terkemuka yang hanya dapat mendirikan 5 mal saja di Indonesia dalam 8 tahun. Menurutnya, kondisi ini tertinggal jauh dibandingkan di Vietnam dan Kamboja dalam kurun waktu yang sama. Di Vietnam, mal tersebut berhasil membangun 30 mal. Sementara di Kamboja berhasil membangun sebanyak 10 mal.

ADVERTISEMENT

Masalah perizinan ini pula, menurut Budi yang menyebabkan para investor lari ke negara Vietnam dan Kamboja. Pasalnya, aturan di kedua negara tersebut dinilai lebih pro investasi.

"Sebuah Department Store ternama di Asia, hanya berhasil membuka 1 toko saja dalam kurun 8 tahun, sementara dalam waktu yang sama berhasil mendirikan 35 mal, 230 toko dalam bentuk supermarket, hypermarket, dan beberapa line ritel lainnya," lanjutnya.

Dia menegaskan apabila kondisi ini terus berlanjut dan tidak ada solusi dari pemerintah, ekosistem bisnis ritel di Indonesia diperkirakan akan terus bertumbangan. Hal ini tentunya akan berdampak pada asosiasi ritel yang mana menaungi lebih dari 10 juta karyawan.

(rrd/rir)

Hide Ads