Rencana pemerintah memperketat aturan terkait produk tembakau dinilai dapat mengancam kelangsungan industri tersebut. Padahal sektor industri hasil tembakau (IHT) berkontribusi besar bagi penerimaan negara setiap tahunnya.
Adapun pengetatan itu tercantum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan terkait produk tembakau dan rokok elektrik, yang merupakan turunan Undang-undang (UU) No.17/2023 tentang Kesehatan. Terkait ini, Kementerian Investasi/BKPM buka suara.
"RPP Kesehatan kita kan sudah memberikan masukan kepada Kementerian Kesehatan, ini kan kita harus menyeimbangkan antara faktor kesehatan dengan bagaimana faktor investasi kepastian juga," kata Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Yuliot Tanjung di Jakarta, dikutip Kamis (25/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yuliot menyoroti industri rokok dalam negeri memiliki pangsa pasar internasional. "Kita juga industri rokok dalam negeri ini kan mereka melakukan ekspor juga, produksi dalam negeri. Justru mereka mengisi pasar-pasar ekspor dia di luar negeri. Kalau kita melakukan pembatasan yang drastis berdampak juga bagaimana operasional mereka dan juga bagaimana mereka memenuhi kebutuhan ekspor," paparnya.
Soal potensi kerugian, kata dia, hal itu bisa dilihat dari besaran cukai yang bakal hilang. Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai, realisasi CHT sampai November 2023 mencapai Rp 179,98 triliun, di bawah target penerimaan 2023 yang ditargetkan Rp 218,69 triliun.
Belum lagi masalah ketenagakerjaan yang bisa timbul. Sebab ada beberapa kota yang cukp mengandalkan sektor IHT.
"Kemudian dari tenaga kerja, di Kediri, satu kota kan itu industri rokok. Jadi di Jawa Timur itu kan cukup banyak, yang hidup dari industri rokok. Mungkin harus pertimbangkan yang itu, jadi bukan melihat satu sisi," sebutnya.
Terkait dampaknya bagi investasi, ia menyebut sektor IHT pasti akan terganggu. Selain itu investor akan melihat regulasi yang baru dengan kepastian hukum dan berusaha.
"Kalau untuk industri rokok itu akan terganggu, tapi untuk dampak lain mungkin investor melihat dengan adanya regulasi ini kaitannya dengan kepastian hukum dan kepastian berusaha," terang Yuliot.
Ia menambahkan industri rokok memiliki rangkaian investasi, baik di masyarakat, industri tembakau, dan industri rokok itu sendiri. Menurutnya sebelum melakukan pengetatan secara drastis, perlu juga mempertimbangkan ekosistem tersebut.
"Ini kan ada yang diusahakan oleh masyarakat, untuk tembakau, kemudian ada industri tembakaunya. Kemudian ada juga industri rokoknya, kan ada ekosistemnya tersendiri. Kalau kita hambat, kita drastis membuat itu pengaturan, harus mempertimbangkan ekosistem untuk tembakau ini juga," bebernya.
Yuliot juga menyampaikan ketidaksetujuannya soal rokok yang dikelompokkan sebagai narkoba. Menurutnya hal itu tidaklah sesuai.
"Kemarin juga ada rumusan awal, untuk rokok itu kan dikelompokkan sama dengan narkoba, padahal kan itu tidak seperti itu. Kita juga memberi masukan yang fair, karena investasi ini kan di mana pun masih tetap diakui. Tapi bagaimana pembatasan, pembatasan, prevalensi masyarakat, anak-anak, peringatan, tetap masuk dalam undang-undang kesehatan itu," tuturnya.
Di sisi lain ia juga mengharapkan adanya transformasi yang dilakukan petani. Misalnya dengan melakukan diversifikasi tanaman selain tembakau.
(ily/das)