Pengusaha Lawan Aturan Pajak Hiburan Naik hingga 75%, Cuma Mau Bayar 10%

Pengusaha Lawan Aturan Pajak Hiburan Naik hingga 75%, Cuma Mau Bayar 10%

Ilyas Fadilah - detikFinance
Kamis, 08 Feb 2024 10:00 WIB
Harap-harap Cemas Pengusaha Hiburan soal Kenaikan Pajak
Ilustrasi - Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Dewan Pengurus Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) resmi mendaftarkan uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Poin yang diprotes adalah besaran pajak hiburan sebesar 40-75%.

Adapun gugatan didaftarkan ke MK pada Rabu, 7 Februari 2024. Pasal yang digugat adalah pasal 58 Ayat (2), terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Di pasal 58 ayat (2) disebutkan khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan 40-75%.

Ketua Umum GIPI Hariyadi BS Sukamdani berharap dalam pengujian materiil ini, Mahkamah Konstitusi dapat mencabut Pasal 58 Ayat (2) pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Sehingga penetapan tarif PBJT yang termasuk dalam Jasa Kesenian dan Hiburan adalah sama, yaitu antara 0-10%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami khususnya adalah untuk memohon kepada MK membatalkan pasal 58 ayat 2 dari Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal tersebut memang mengandung diskriminasi antara 5 jasa hiburan, kelab malam, diskotek, bar, karaoke, mandi uap/spa, dibanding sektor lain," katanya dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).

Ia mengatakan, dampak penerapan pajak yang tinggi dapat membuat pengusaha kehilangan konsumen. Imbasnya sektor hiburan berpotensi mati dan lapangan pekerjaan bisa hilang.

ADVERTISEMENT

"Dampak penetapan pajak yang tinggi adalah usaha hiburan akan kehilangan konsumen dan berakhir pada penutupan usaha serta banyaknya pekerja di sektor hiburan yang akan kehilangan lapangan kerja," tuturnya.

Di sisi lain, Indonesia yang saat ini sedang berjuang untuk melakukan recovery di sektor Pariwisata pasca Pandemi COVID-19, mendapat permasalahan baru dalam berkompetisi dan menciptakan daya saing pariwisata dengan negara lain. Ia menyebut beberapa negara justru menetapkan tarif pajak rendah, misalnya Thailand hingga Malaysia.

Selain itu DPP GIPI akan mengeluarkan Surat Edaran untuk pengusaha hiburan, (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) yang pajak hiburan di daerahnya meningkat karena adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, agar membayar pajaknya dengan menggunakan tarif lama. Besaran yang diharapkan adalah 10%.

Menurut Hariyadi proses gugatan ke MK akan memakan waktu yang lama mengingat berdekatan dengan periode pemilu. Ia menilai MK akan memprioritaskan perkara yang terkait dengan sengketa pemilu.

"Untuk itu kami juga nanti akan mengeluarkan surat edaran kepada pelaku jasa hiburan yang terkena Pasal 58 ayat (2) yang intinya kami mengimbau mereka untuk membayar tarif pajaknya mengikuti tarif yang lama. Sementara itu, agar mereka bisa tetap bertahan," katanya dalam konferensi pers di gedung Mahkamah konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2024).

Oleh karena itu, kata dia, SE juga dikeluarkan sambil menunggu pemerintah daerah mengeluarkan diskresi kebijakan melalui insentif fiskal. Dalam SE tersebut pelaku industri diminta membayar pajak sebesar 10%.

"Jadi posisi kita gitu, kalau ini diteruskan mati semua. SE kami begitu, posisi kami adalah membayar sementara sampai putusan MK diputuskan, sementara membayar pakai tarif lama dulu," tegasnya.

Haryadi berujar langkah ini ditempuh demi menjaga kelangsungan industri sektor hiburan dalam negeri. Terlebih sektor ini membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan kualifikasi yang tidak terlalu tinggi.

"Saya punya kewajiban membantu anggota saya untuk tidak mati. Ini kan saya cerita panjang lebar, ini kan prosesnya udah nggak benar. Sekarang gimana, kalau hidup dan mati kasihan, masa mau kehilangan mereka sih," imbuhnya.

(ily/kil)