Ekonom Jepang mengungkapkan, faktor-faktor khusus seperti gempa bumi Semenanjung Noto, penghentian produksi oleh produsen mobil tertentu, dan berdasarkan tren produksi menjadi hal yang berkontribusi bagi kontraksi ekonomi Jepang.
Pada periode Oktober-Desember, konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari setengah PDB Jepang, turun 0,2%. Sementara, investasi bisnis berkontraksi 0,1%. Keduanya mengalami pertumbuhan negatif selama tiga kuartal berturut-turut.
Impor, yang pertumbuhannya berdampak negatif terhadap PDB, meningkat 1,7%, sementara ekspor tumbuh 2,6%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data juga menunjukkan bahwa selama tahun 2023, PDB Jepang secara riil meningkat sebesar 1,9%, dengan pertumbuhan 5,7% secara nominal.
Kontribusi lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi Jepang, antara lain permintaan eksternal berkontribusi positif sebesar 0,2% terhadap Q4 2023. Juga, permintaan domestik terkontraksi 0,3 poin karena konsumsi yang lamban.
Analis mengungkapkan bahwa permintaan domestik yang lemah membuat Jepang terjebak di pertumbuhan negatif selama kuartal tersebut. Adapun alasan utama permintaan domestik lemah berkaitan dengan inflasi yang berlangsung terus menerus dengan kenaikan upah yang tertinggal dari kenaikan harga. Hal tersebut mengakibatkan daya beli rumah tangga tertahan.
Pada 2023, upah riil di Jepang turun sebesar 2,5% dari tahun 2022. Hal ini menandai penurunan dua tahun berturut-turut berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang.
Di sisi lain, survei dari Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga riil bulanan Jepang menurun sebesar 2,6% pada 2023 dibandingkan 2022.
Data dari Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi menunjukkan bahwa pada Desember 2023, indeks konsumen inti Jepang 2% melampaui target Bank of Japan (BOJ) selama 21 bulan berturut-turut. Akan tetapi, pemerintah Jepang dan bank sentral masih ragu apakah capaian tersebut dapat menyelamatkan Jepang dari deflasi.
Oleh sebab itu, pemerintah Jepang mempromosikan berbagai langkah, seperti pemotongan pajak agar mendorong perusahaan menaikkan upah. Tindakan ini diambil karena kenaikan upah nominal, terutama dari perusahaan besar, gagal mengejar kenaikan harga dan permintaan domestik yang tidak mencukupi. Hal tersebut terus mengganggu pertumbuhan ekonomi Jepang.
Penurunan upah riil tersebut menimbulkan dilema bagi BOJ sementara adanya distorsi pasar yang menonjol dan efek sampingnya akibat periode kebijakan moneter longgar yang berkepanjangan di Jepang. Meskipun begitu, masih ada harapan tinggi di dalam maupun luar negeri bagi bank sentral untuk keluar dari kebijakan suku bunga negatifnya.
Mendukung hal tersebut, beberapa ahli menunjukkan bahwa dengan potensi penurunan suku bunga Federal Reserve AS tahun ini, membuka peluang bagi BOJ untuk mengambil tindakan sebaliknya dan bergerak menuju pengetatan terbatas. Selain itu, tindakan lainnya yang dapat diambil sebelum penurunan suku bunga AS.
Media lokal dan para ahli percaya bahwa meskipun faktor-faktor positif, seperti kenaikan harga dan peningkatan upah telah diperhatikan secara ketat, siklus yang baik masih belum terbentuk. Faktor-faktor tersebut tidak menjadi alasan mendasar yang mendukung kenaikan pasar saham yang terjadi baru-baru ini.
Sebab, lonjakan pasar Tokyo sangat bergantung terhadap kegiatan spekulatif modal asing di tengah depresiasi Yen. Investor asing menyumbang sekitar 70% volume perdagangan dan sebagian besar didorong beberapa saham dengan kapitalisasi besar. Pasar rentan mengalami volatilitas yang parah jika modal asing mengalir keluar.
Mengingat bank sentral utama secara global terus menaikkan suku bunga, BOJ terhadap kebijakan suku bunga negatifnya menjadi alasan utama di balik melemahnya Yen. Berlanjutnya kenaikan pasar saham Jepang tahun ini, sebagian besar disebabkan penundaan ekspektasi pasar AS untuk memulai penurunan suku bunga. Menjadikan langkah BOJ untuk beralih ke pengetatan.
(eds/eds)