Roy mengatakan saat ini prosesnya masih sebatas pembahasan jumlah total yang harus dibayar pemerintah kepada pengusaha minyak goreng. Pembahasan itu melibatkan Kemenko Perekonomian, Polhukam, Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perdagangan, hingga Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sayangnya, pada rapat koordinasi terbatas (rakornas) antar K/L tersebut, pihak peritel tidak dilibatkan.
"Sudah terjadi (rakornas) pada hari Kamis setelah Pemilu, tanggal 15 Februari lalu. Tapi setelah itu kami dapat info, karena kami tidak diundang. Kami dapat info bahwa rafaksi mau dibayar, tapi sesuai perhitungan Sucofindo," kata Roy saat ditemui di Hotel Kempinski, Jakarta, Senin (4/2/2024).
Melihat hal tersebut, Roy menilai pemerintah tidak berniat untuk melunasi utangnya. Padahal besaran total utang yang diterimanya bukanlah menjadi prioritas utama. Asalkan pemerintah juga mau transparansi proses perhitungannya.
"Kami peritel, angka itu menjadi prioritas kedua, yang penting niat bayar dulu. Karena sekarang niat bayarnya itu nggak keliatan kan. Angka itu prioritas kedua, selagi kami diberitahu perhitungannya gimana, angkanya dari mana, rumusnya apa, kenapa demikian," jelasnya.
Lebih lanjut, Roy menjelaskan ke depannya akan ada pertemuan yang membahas persoalan angka tersebut. Namun, dia belum bisa membeberkan waktu tepatnya. Sebab, pihak Kementerian Perdagangan belum siap.
"Tapi, akan ada pertemuan lebih lanjut terkait detail teknis terhadap angka. Terakhir dapat informasi bahwa Kemendag-nya yang belum siap untuk mengadakan lagi pertemuan detail," imbuhnya.
Sebagai informasi, utang pemerintah terkait program satu harga minyak goreng (rafaksi) minyak goreng sudah dua tahun belum dibayarkan kepada pengusaha.
Seperti diketahui, program itu diluncurkan pada 19 Januari 2022 lalu sebagai penugasan kepada produsen minyak goreng dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk menjual minyak goreng murah saat harga komoditas itu mahal.
Kala itu semua pengusaha diminta menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara itu harga minyak goreng di pasaran kala itu berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. Nah selisih harga atau rafaksi itu dalam Permendag 3 disebut akan dibayarkan pemerintah.
Masalah muncul ketika Permendag 3 digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. Beleid baru itu membatalkan aturan lama soal rafaksi yang ditanggung pemerintah. Padahal, seharusnya utang pemerintah kepada pengusaha tetap harus dibayarkan.
Adapun terkait dengan perbedaan selisih pembayaran rafaksi, surveyor yang digunakan oleh pemerintah yakni PT Sucofindo, yang mana hasil verifikasinya nilai pergantian selisih harga atau rafaksi sebesar Rp 474,8 miliar. Nilai itu berbeda dengan klaim produsen senilai Rp 812 miliar dan peritel Rp 344 miliar. (fdl/fdl)