Pemerintah tengah menggodok tata kelola dan niaga untuk tanaman kratom. Adapun rencana ini menuai kontroversi sejumlah pihak lantaran tanaman tersebut masuk ke dalam golongan I kategori narkotika.
Masuknya kratom ke dalam golongan narkotika ditetapkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Penggolongan ini didasarkan pada efek kratom yang berpotensi menimbulkan ketergantungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, pihaknya telah mendorong Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk melakukan riset atas kandungan kratom. Dari hasil tersebut, ia mengakui masih ada perbedaan persepsi antara BNN dan BRIN.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masih ada perbedaan antara BNN dan hasil riset BRIN. Karena kita sebetulnya ingin memastikan seperti apa sih kondisi kratom itu. Masih ada perbedaan persepsi," kata Moeldoko, ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (20/6/2024).
Moeldoko menambahkan, hasil riset tersebut menyebutkan bahwa kratom mengandung senyawa yang dapat menimbulkan efek samping, tapi dalam jumlah tertentu. Hal ini jugalah yang melandasinya untuk meminta BRIN melakukan riset mendalam.
"Risetnya mengatakan memang mengandung, tapi jumlah tertentu. Akhirnya saya minta lagi jumlah tertentu seperti apa yang membahayakan di kesehatan sehingga ini inline dengan status yang ditentukan BNN," ujarnya.
Di sisi lain, menurutnya kratom memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Hal ini mengingat komoditas ini jumlahnya cukup besar di Indonesia telah menjadi penopang dari 18.000 keluarga perkebunan. Karena itu juga, masyarakat berharap agar pemerintah segera memberi kepastian atas tata kelola dan ekspor kratom.
Selaras dengan hal tersebut, pada hari ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat bersama sejumlah menteri ekonomi Kabinet Indonesia Maju dan beberapa stakeholder terkait. Ada tiga pembahasan utama dalam rapat tersebut, termasuk salah satunya tentang penggolongan kratom sebagai narkotika.
"Ingin memastikan harus bagaimana tata kelolanya, penggolongannya bagaimana, tata niaganya juga bagaimana sehingga ada kepastian karena ini ditunggu masyarakat," ujarnya.
Menyangkut tata kelolanya, Moeldoko menjelaskan, selama ini Indonesia belum memiliki standarisasinya. Hal ini menyebabkan terkadang terjadi reject atau penolakan dari perusahaan atas ekspor ini karena disinyalir ada bakteri E.coli ataupun logam berat.
"Karena itu perlu ditata, perlu ada standarisasi," imbuhnya.
Kemudian dari sisi tata niaganya, saat ini Menteri Perdagangan sedang menyusun aturan mainnya. Menurutnya, hal ini perlu dipercepat sehingga kepastian segera terbentuk dan masing-masing stakeholder terkait pun akhirnya tahu harus bertindak bagaimana.
"Ini ditunggu masyarakat. Saya mendapat keluhan dari masyarakat Kalimantan Barat (produsen kratom), termasuk dari bupati dan gubernur, ini masyarakatnya harus mendapatkan kepastian," ujar dia.
Simak juga Video: BNN Ungkap Potensi Peredaran Sabu di Indonesia Capai 346,3 Ton per Tahun