Kisah Sukses Transmigran Lewat Pertanian Organik di Muara Enim

Kisah Sukses Transmigran Lewat Pertanian Organik di Muara Enim

Mega Putra Ratya - detikFinance
Sabtu, 27 Jul 2024 16:15 WIB
Pertanian Organik-Pertamina
Foto: Pertamina

Ketika Tanah Menjadi Rusak

Ia belajar otodidak dan banyak membaca dan bertapa pada petugas pertanian. Juga beberapa akademisi dari universitas yang bisa ia temui.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kebiasaan kita dengan anorganik, sebenarnya karena waktu itu harga pupuk agak murah. Pembelian pupuknya pun sangat mudah, kita enggak harus ke pasar tapi orang menjajakan," kata Khairil.

Kemudahan itu memberi dampak buruk pada tanah. Dari hasil penelitiannya secara otodidak pula, 65%-70% tanah rusak. Dari kasat mata ia bisa melihat, tanah menjadi keras, miskin unsur hara. Jika ingin menghasilkan, harus dipupuk lebih banyak lagi.

ADVERTISEMENT

Menurut penuturan Khairil, dosis pupuk satu hektar sekitar 200 sampai 250 kg, aplikasi pupuk bisa sampai 600kg-700kg untuk meningkatkan hasil panen. Memang, hasil panen menjadi sangat tinggi namun menyisakan kerusakan tanah yang cukup parah. Dari sanalah ia mulai mencoba menguatkan struktur tanah dan mengendalikan jamur upas dengan Trichoderma.

Langkah awalnya pun tak terlalu mulus. Saat mencoba pertama, banyak yang kontaminasi. Bukan Trichoderma yang tumbuh, tapi cendawan lain. Sampai akhirnya ia berhasil dan mengaplikasikannya di ladang sendiri.

Pertanian Organik, Panen Jeruk Sepanjang Tahun

Media yang ia gunakan hanya nasi, setelah dibiarkan selama 10 hari, lama kelamaan akan tumbuh jamur berwarn biru. Inilah yang disebut Trichoderma F1. Dari biang ini, dibiakkan lebih banyak lagi dengan air cucian beras (10 liter), terigu (200gr), molase (100ml) atau bisa menggunakan gula merah yang diiris kecil-kecil sebagai sumber glukosa.

Jamur membutuhkan glukosa untuk nutrisinya. Larutan ini dibiarkan hingga 3 bulan, baru disemprotkan. Pengaplikasiannya untuk mengendalikan jamur upas, disemprotkan seminggu dua kali.

Selain menggunakan agen hayati Trichoderma, Khairil juga menggunakan pupuk kandang dari kotoran kambing untuk memperbaiki struktur tanah. Pupuk kadang ini disemprot dulu dengan EM agar menjadi pupuk yang siap pakai.

"Saya pakai pupuk organik dan agen hayati ini menjadi pertumbuhan tanaman tidak cepat. Kalau pakai pupuk anorganik, kan cepat menunjukkan hasil," kata Khairil.

Oleh sebab itu, para petani yang bergabung di kelompok pertanian organik ini kembali beralih ke pupuk anorganik satu demi satu. Dari 8 orang anggota yang mencoba, akhirnya menyerah satu demi satu.

"Saya sempat goyah juga sih tuh di tahun 2018 saya udah ya nih," kenang Khairil. Ia tak menyerah. Hal yang menguatkan ketika ia mencotoh ekosistem hutan. Di hutan, semua bisa tumbuh dengan baik, tidak perlu pupuk. Ia sudah memperlakukan tanah dengan baik, maka ia yakin tanah akan memberikan yang terbaik.

Rupanya, kesabaran membuahkan hasil. Setelah 2 tahun aplikasi, kebun jeruknya mulai menghasilkan 400kg. Sampai tanaman umur 3 tahun, bisa menghasilkan 2,5 ton/2 hektar. Pada tahun 2019, hasil panen pun stabil.

Tak hanya itu, panen jeruk pun berjalan sepanjang tahun. Para petani yang menggunakan pupuk anorganik dan pestisida hanya bisa panen sekali, hasilnya Rp 35juta-Rp 60 juta sekali panen. Sementara Khairil bisa panen setiap 3 bulan selama satu tahun. Jadi ketika orang lain tidak punya jeruk yang dipanen, Khairil tetap bisa panen. Harga jualnya lebih tinggi karena bukan musim panen.

"Selain itu, rasa jeruknya pun lebih segar, lebih manis," katanya. Bila dilihat, struktur tanah pun lebih gembur dengan pertanian organik. Ia mengatakan, bukan 100% organik, tapi baru 98% organik. Beberapa petani masih menggunakan pupuk kimia sintetis, namun ada pengurangan dari waktu ke waktu.

Baca halaman berikutnya soal menolak bansos demi orang lain yang lebih membutuhkan..


Hide Ads