Banyak Ritel Tunda Buka Gerai Baru, Pengusaha Mal Ungkap Penyebabnya

Banyak Ritel Tunda Buka Gerai Baru, Pengusaha Mal Ungkap Penyebabnya

Retno Ayuningrum - detikFinance
Kamis, 08 Agu 2024 19:45 WIB
Pengunjung pusat perbelanjaan Senayan City memadati mal tersebut untuk berburu barang dalam ajang Midnight Sale, Jakarta, Jumat (1/6/2018) malam. Untuk meramaikan puasa di bulan Ramadan 2018 dan jelang Lebaran, sejumlah mal di Jakarta pun menggelar midnight sale. Grandyos Zafna/detikcom

Setiap mal pun menawarkan program diskon yang menggiurkan. Berbagai benda dan barang kebutuhan sehari-hari, kebutuhan liburan, sampai kebutuhan Lebaran tak ketinggalan mendapat sale sampai dengan 70 persen lebih.
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Pengusaha mal mengungkapkan banyak peritel memutuskan untuk tidak membuka gerai baru. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja.

Alphonzus menyebut, peritel sekelas Matahari dan Hypermart menargetkan ekspansi gerai baru tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, Matahari setiap tahun menargetkan membuka 10-15 gerai, namun tahun ini hanya berencana 4 gerai.

"Menurut saya pengelola pusat belanja kekurangan peritel. Jadi, peritel baru yang mau mengisi pusat belanja semakin banyak yang menahan diri untuk membuka usaha baru. Contoh, Matahari Dept Store biasanya setiap tahun punya target 10-15 toko baru, tahun ini hanya menargetkan 4, bahkan menutup 10 toko. Hypermart juga sama tahun ini relatif tidak membuka toko baru. Dari brand lain semua menahan diri," kata Alphonzus di Pantai Indah Kapuk (PIK) Avenue, Jakarta Utara, Kamis (8/8/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal pengembang siap membangun mal baru. Namun, yang menjadi masalah utama adalah banyak peritel yang menahan diri untuk membuka gerai baru.

"Kalau pusat belanja sendiri banyak developer sudah siap yang mau membangun mal baru tapi memang yang mau mengisi toko-tokonya itu terbatas karena banyak peritel yang menahan diri," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Dia menjelaskan fenomena tersebut terjadi lantaran impor ilegal yang masih membanjiri pasar dalam negeri. Serbuan impor ilegal tersebut membuat ritel di bidang fesyen sangat terdampak, apalagi daya beli masyarakat juga sedang menurun.

Menurutnya, daya beli masyarakat yang sedang menurun ini juga membuat impor ilegal makin marak. Pasalnya, harga produk yang dijual lebih murah dibandingkan di ritel.

"Salah satunya karena impor ilegal. Memang terdampak itu pasti busana, fashion itu karena uang yang dipegang masyarakat menengah ke bawah ini sedikit. Makanya kenapa impor ilegal begitu marak, harga satuannya kan murah. Beli di Tanah Abang Rp 100.000 dapat 3 itu kan kelas menengah bawah itu akhirnya ke sana," imbuhnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya tengah membuat strategi agar produk di ritel dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah. Dia meminta kepada pemerintah jangan menciptakan regulasi yang berdampak pada iklim usaha.

Dia juga berharap pemerintah dapat memberikan bantuan sosial (bansos) tunai. Alhasil, masyarakat dapat mengalokasikan sesuai kebutuhan sehingga dapat berdampak pada daya beli masyarakat.

"Jangan menciptakan regulasi yang bisa berdampak pada penurunan daya beli masyarakat lebih dalam. Pemerintah sekarang masih melakukan bantuan sosial, tapi saya kira lebih baik dalam bentuk tunai. Kalau tunai itu jauh lebih berdampak secara langsung terhadap daya beli," jelasnya.

(ara/ara)

Hide Ads