Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini memberikan catatan atas nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Sejumlah aspek menjadi perhatian Didik, salah satunya menyangkut defisit yang terus berlanjut dan disebutnya terus meningkat.
Defisit anggaran RAPBN 2025 yang direncanakan adalah Rp 616,2 triliun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kata dia, defisit ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang.
"Selama 10 tahun masa pemerintahan ini kebijakan utang memang ugal-ugalan sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan janji politik yang banyak sekali, Didik menyebut sulit bagi pemerintahan ke depan mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus.
Sampai pertengahan tahun 2024 ini telah ditawarkan setidaknya hampir Rp 1.000 SBN tetapi laku di pasar hanya separuhnya sekitar Rp 517 triliun rupiah. Pada 2023, SBN yang ditawarkan di pasar mencapai Rp 1.800 triliun, tetapi laku di pasar sebesar Rp 807 triliun.
"Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga harus gali lubang tutup lubang," imbuh Didik.
Ia membandingkan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mewariskan utang sekitar Rp 2.608 triliun. Sepuluh tahun berikutnya jumlah utang mencapai Rp 8.338 triliun, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sangat tinggi sebesar Rp 497 triliun rupiah.
"Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian, sektor maupun provinsi mana pun. Jika dibandingkan misalnya dengan APBD provinsi, pembayaran utang ini 1600 persen lebih tinggi total APBD rakyat Jawa Barat," bebernya.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik
Hal lain yang disoroti adalah target penerimaan negara sebesar Rp 2.997, yang mana Rp 2.490 triliun di antaranya berasal dari pajak. Didik menilai target tersebut masih feasible, sebab angkanya tidak jauh dari target tahun lalu sebesar Rp 2.802 triliun, yang Rp 2.309 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak.
Namun ia menyoroti pemerintah yang disebutnya masih pesimis soal target penerimaan pajak pada anggaran belanja tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi, kata dia, pada tahun 2025 tantangan yang dihadapi jauh lebih besar.
"Janji kampanye yang menuntut pengeluaran besar, sementara penerimaan pajak tidak bisa digenjot lebih dari kapasitasnya sekarang," sebut dia.
Menurutnya kondisi sekarang cukup berat, tercermin dari daya beli masyarakat yang turun. Selain itu kelas menengah juga berat kondisinya dan bahkan turun kelas.
"Target ini sulit atau bahkan tidak bisa dicapai jika ekonomi tumbuh stagnan di bawah atau di sekitar 5 persen dan tidak sesuai janji kampanye presiden terpilih yang akan tumbuh lebih tinggi lagi," sebutnya.
"Tidak usah seperti janji kampanye pertumbuhan ekonomi 8 persen, jika pertumbuhan ekonomi bisa didorong 6-6,5 persen, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai," tambah Didik.
Jadi, faktor ekonomi makro pertumbuhan ekonomi, investasi dan iklim investasi serta kegiatan perdagangan, terutama ekspor, akan menentukan tercapainya target penerimaan pajak. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bisa dicapai jika ada kebijakan makro struktural, yang mana investasi dan ekspor bisa didorong menjadi lokomotifnya.
(ily/hns)