Solusi dari Pemerintah
Pemerintah pun putar otak untuk mengatasi masalah ini. Bahkan, Satgas Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional pun dibentuk dan sudah menyiapkan beberapa kebijakan untuk mengatasi masalah ini. Satgas dipimpin langsung oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang masuk dalam Satgas itu menjelaskan ada tiga kebijakan yang mau dilakukan pemerintah dalam waktu dekat. Pertama, adalah menghapus pajak suku cadang pesawat. Pajak ini dinilai berkontribusi ke mahalnya harga tiket pesawat.
Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati, kata Budi Karya, sudah menyetujui usulan penghapusan pajak suku cadang pesawat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi Karya bilang, pajak suku cadang pesawat jika dihapus bisa memberikan efek ganda ke sektor lain. Bila pajak ini dihapuskan maka harga tiket bisa turun. Di sisi lain, industri suku cadang dan bengkel pesawat di tanah air juga bisa untung karena beban usahanya turun. Alhasil, ekspansi bisa dilakukan perusahaan dan membuka lapangan kerja.
"Yang mestinya sudah bisa dieksekusi yang pertama berkaitan dengan pajak atas suku cadang, karena pajak suku cadang itu memiliki multiplier effect. Satu sisi menurunkan harga tiket, kedua adalah memberikan lapangan pekerjaan di Indonesia," ujar Budi Karya ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Jumat (20/9/2024) yang lalu.
Kedua, Budi Karya mengusulkan untuk menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) avtur dan PPN tiket pesawat. Menurutnya, pembebanan PPN pada sektor penerbangan ini cuma terjadi di Indonesia. PPN diyakini juga menjadi biang kerok harga tiket pesawat mahal karena memberikan biaya tambahan bagi maskapai dan juga penumpang.
Bila PPN dihapus pasti akan memberikan potensi kehilangan pendapatan pada negara. Namun, menurut Budi Karya hal ini terpaksa dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga layanan penerbangan bagi masyarakat.
Kebijakan ketiga yang bakal dilakukan pemerintah adalah mengizinkan swasta menjual avtur di Indonesia. Selama ini hanya Pertamina yang menyediakan avtur di Indonesia.
Pemerintah ingin ada kompetisi pada penyediaan avtur dengan mengundang pemain lain atau yang disebut multi provider, sehingga harga bahan bakar pesawat kompetitif. Dengan begitu, beban maskapai berkurang dan harga tiket pesawat bisa turun.
"Avtur dengan multi provider sudah dibahas dalam rapat dengan pak Menko. Ada beberapa hal yang harus diperbaiki, kalau bisa diperbaiki akan ada penurunan avtur yang besar dan berdampak ke penurunan tiket," beber Budi Karya.
Ampuh Turunkan Harga Tiket?
Analis Independen Bisnis Penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan kebijakan-kebijakan yang dipaparkan Budi Karya bisa optimal menekan harga tiket apabila implementasinya segera dilakukan dalam waktu dekat dan berbarengan.
"Kalau semua itu dilakukan memang bisa langsung menurunkan harga tiket. Tapi harus semuanya ya. Soalnya kalau satu per satu tetap saja tidak akan berpengaruh banyak," ungkap Gatot ketika dihubungi detikcom, Minggu kemarin.
Gatot menekankan yang akan paling berdampak untuk menekan harga tiket adalah kebijakan penghapusan PPN tiket pesawat. Sebab, pajak yang satu ini diterapkan langsung kepada masyarakat yang mau membeli tiket pesawat.
Catatan dari Gatot adalah pemerintah harus mempunyai komitmen politik atau political will untuk menyelenggarakan semua kebijakan yang dimaksud. Untuk kebijakan penghapusan bea masuk suku cadang saja misalnya, sudah 10 tahun kebijakan ini dibahas dan didiskusikan, tapi tak ada satupun kebijakan yang dikeluarkan.
Masih ada satu isu lagi yang belum tersentuh dalam pembahasan penurunan tiket belakangan ini menurut Gatot. Hal itu adalah dugaan monopoli di rute dan slot penerbangan yang dipegang oleh satu grup maskapai tertentu saja.
Masalah ini harus diurai dan Kementerian Perhubungan sebagai regulator utama penerbangan seharusnya bisa turun tangan soal masalah ini tanpa perlu berkoordinasi lintas sektoral.
"Kalau masih ada monopoli dan tidak ada persaingan yang sehat, maka harga tiket tetap akan di batas atas. Dan soal monopoli ini sebenarnya aturannya ada di Menteri Perhubungan, harusnya lebih gampang," sebut Gatot.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie bicara banyak soal tata kelola penyediaan avtur di Indonesia. Dia mengatakan seharusnya pemerintah tak usah bicara soal membuka pasar avtur untuk pemain swasta. Karena selama ini, menurut Alvin memang tidak ada aturan yang melarang pemain swasta untuk masuk ke sektor penyediaan bahan bakar pesawat.
Yang jadi masalah adalah banyak persyaratan yang membuat pemain swasta ogah masuk dan berdiri sendiri pada pasar penyediaan avtur di Indonesia. Kebanyakan ujungnya hanya bekerja sama dengan Pertamina atau bahkan tak mau membuka usaha penyediaan avtur di Indonesia.
"Selama ini tidak ada aturan yang melarang pemain swasta untuk masuk, tidak ada larangan. Kenapa nggak ada pemain swasta masuk? Karena ada persyaratan untuk main di bidang avtur, misalnya kewajiban penyediaan infrastruktur yang biayanya tidak kecil," beber Alvin Lie kepada detikcom.
Masalah berikutnya adalah ada sederet biaya tambahan yang harus dibayarkan pemain avtur bila mau menjajakan bensin pesawat di Indonesia. Dari cerita yang didapat Alvin dari Pertamina, biaya melakukan bisnis jual avtur memang besar sejak awal.
Pertama harus menyediakan biaya investasi untuk membangun infrastruktur avtur di sekitar bandara. Lahannya saja harus menyewa dari pihak bandara dan membuat sebuah biaya tambahan baru.
Kedua, untuk tiap avtur yang dijual harus ada biaya throughput fee yang harus dikeluarkan. Ketiga, masih ada pungutan dari BPH Migas senilai 0,25% dari total harga setiap liter avtur yang dijual. Belum lagi masih harus ada Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan untuk jual beli avtur.
Menurut Alvin meskipun ada banyak pemain swasta yang menjajakan avtur di Indonesia, bila banyak beban tambahan seperti yang dia paparkan nampaknya akan sama saja. Avtur tetap tinggi dan biaya produksi pun tak menurun, artinya kebijakan itu tak memberikan dampak besar ke penurunan harga tiket pesawat.
"Kalau dibuka ke swasta tapi biaya serupa yang banyak itu masih ada, ya rasanya tidak akan berubah begini-begini saja adanya," pungkas Alvin.
(hal/kil)