Komisi V DPR RI mengkritik keras soal kurangnya pengawasan pada pemotongan biaya jasa oleh aplikator transportasi online. Anggota Komisi V Reni Astuti menuntut adanya transparansi, bahkan audit pemotongan biaya jasa aplikator terhadap pengemudi ojek online (ojol) ataupun taksi online.
Reni mengatakan dalam aturan yang dibuat Kementerian Perhubungan semestinya aplikator hanya boleh memotong 15% dari biaya perjalanan, sementara itu ada tambahan 5% untuk biaya kesejahteraan untuk para pengemudi. Banyak pengemudi ojol dan taksi online yang mengeluhkan potongan biaya perjalanan dengan total 20%.
"Aturannya ada tapi kenyataan tak begitu. Contoh batasan maksimal potongan aplikator kan katanya di aturan itu 15%, plus 5% yang disuarakan tak begitu. Aplikator berkata tak pernah melebihi batas 20% tapi driver ojol mengatakan sudah melebihi ada yang 40-50%," ujar Reni dalam diskusi Forum Legislasi DPR di Kompleks DPR, Jakarta Pusat, Selasa (27/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS itu menekankan perlunya audit pada potongan yang dilakukan aplikator. Menurutnya, semua pengemudi perlu mengetahui dengan jelas terkait potongan biaya jasa oleh aplikator.
"Kalau transparansi ini penting mestinya Kemenhub itu audit soal angka-angka yang jadi potongan aplikator selama ini," sebut Reni.
Di agenda yang sama, Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu juga mempertanyakan soal potongan aplikator. Menurutnya, banyak potongan aplikator di luar komisi 15% yang diperbolehkan dalam aturan Kemenhub.
"Di tulisan (aturan) ini nggak ada pungutan lain selain 15 plus 5%. Ada platform fee? Nggak ada, tapi ini di judulnya ada jasa aplikasi, buat motor Rp 2.000, mobil 3.000, apa dari 15% ini? Bukan kan. Dasar hukumnya apa? Lalu, kalau jemput ke bandara ada biaya lokasi dan segala macam, ini dari mana," kata Adian.
Dari angka potongan tambahan 5% yang ada dalam aturan Kemenhub, Adian memaparkan hal itu digunakan untuk kesejahteraan para pengemudi. Namun, dia mempertanyakan sejauh ini tidak ada aksi nyata untuk kesejahteraan bagi para pengemudi.
"Itu kan 15+5%, nah 5% itu tunjangan kesejahteraan buat driver, apa yang dimaksudkan, bla bla bla ada di situ di permen (peraturan menteri), tapi siapa yang tanggung jawab angka 5% sejak 2022, siapa yang pegang uangnya, ke mana uangnya, berapa jumlahnya. Boleh nggak ojol tahu uangnya ke mana? Apa yang didapat ojol dari situ," sebut Adian.
Kemenhub Buka Suara
Kemenhub tak bisa bicara banyak soal permintaan audit. Direktur Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Muiz Thohir mengatakan Kemenhub hanya bisa mengatur pembentukan tarif ojek online.
Hanya saja, Muiz mengatakan penindakan ke aplikator termasuk sanksi dan permintaan audit bukan domain Kemenhub, namun hal itu diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi). Pihaknya sudah sering bersurat ke Komdigi untuk hal tersebut.
"Selama ini yang dilakukan teman-teman kita bersurat ke Komdigi untuk bersurat ke situ. Karena gini juga, kami dari Kemenhub kita tak ada kemampuan audit sekalipun, karena domain kita hanya menyusun harga. Urusan penindakan ke aplikator ada di Komdigi," beber Muiz.
Simak juga Video: Driver Ojol Tuntut Pembagian 90% Dari Tarif