Badai PHK Mengintai di Balik Kesepakatan RI & AS soal Tarif

Badai PHK Mengintai di Balik Kesepakatan RI & AS soal Tarif

Anisa Indraini - detikFinance
Rabu, 16 Jul 2025 12:07 WIB
US President Donald Trump speaks to reporters as he departs for travel to Texas to tour areas affected by deadly flash flooding, from the South Lawn of the White House in Washington, D.C., U.S., July 11, 2025. (File photo: Reuters)
Foto: dok. Reuters
Jakarta -

Indonesia mendapat diskon tarif impor dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi 19%. Alih-alih menjadi kabar bahagia dibandingkan tarif yang didapat sebelumnya 32%, kesepakatan ini justru dinilai membahayakan posisi Indonesia.

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan kesepakatan ini menempatkan Indonesia dalam posisi timpang. Pasalnya saat barang Indonesia masuk AS terkena tarif 19%, barang-barang dari AS tidak akan dikenakan tarif apapun saat masuk ke Indonesia.

"Diskon tarif sebesar 19% yang diberikan Presiden Trump terhadap barang ekspor Indonesia tidak layak dirayakan sebagai kabar bahagia. Di balik angka yang tampak lebih ringan dibandingkan ancaman tarif 32% sebelumnya, tersembunyi tekanan struktural yang membahayakan posisi Indonesia dalam perdagangan global," kata Syafruddin kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

Ketimpangan ini membuka jalan bagi produk-produk asal AS menguasai pasar Indonesia dan menekan daya saing produk dalam negeri. Menurut Syafruddin, kesepakatan dagang yang membuka keran impor secara besar-besaran tanpa memperkuat daya saing ekspor justru berisiko menjadi beban terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

"Jika ekspor stagnan akibat tarif 19% dan impor melonjak karena akses penuh produk AS dan kewajiban pembelian, maka kontribusi sektor eksternal bisa menjadi negatif, menggerus laju pertumbuhan secara keseluruhan," tutur Syafruddin.

Lebih jauh, banjirnya barang-barang impor dinilai berpotensi melemahkan industri dalam negeri terutama sektor-sektor yang belum sepenuhnya kompetitif. Tekanan ini disebut bisa memicu penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan gejala deindustrialisasi dini.

"UMKM di sektor pertanian dan pangan menjadi kelompok yang paling rentan karena harus bersaing langsung dengan produk asing yang masuk tanpa beban tarif," beber Syafruddin.

Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal dan moneter pun diperkirakan akan semakin tertekan. Pemerintah kemungkinan harus mengalokasikan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial ekonomi, sementara ketimpangan pasar bisa menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, memicu inflasi berbasis impor dan meningkatkan volatilitas harga pangan.

"Semua ini menciptakan tantangan serius bagi stabilitas ekonomi makro yang justru tergerus akibat skema dagang yang tidak imbang," imbuh Syafruddin.

Senada, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan impor dalam jumlah masif dari AS akan meningkatkan tekanan pada neraca pembayaran dan neraca perdagangan Indonesia. Jika neraca pembayaran melemah akibat lonjakan impor dan lemahnya ekspor, rupiah berpotensi tertekan.

"Pelemahan rupiah akan menaikkan harga barang impor lain, mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat," beber Achmad.

Achmad menggambarkan syarat dari AS sebagai bentuk modern dari pemerasan. Ancaman tarif 32% memang menjadi tekanan bagi Indonesia, namun penurunan ke 19% dibeli dengan harga yang jauh lebih mahal.

"Kesepakatan ini justru membuat Indonesia membeli lebih banyak dari AS hanya demi tarif yang masih tetap tinggi. Padahal barang-barang AS masuk ke pasar Indonesia bebas tarif dan bebas hambatan non-tarif. Ini seperti pertandingan sepak bola di mana Indonesia dipaksa bermain dengan sepuluh pemain, sedangkan AS bermain dengan formasi penuh plus bonus penalti," tutur Achmad.

Achmad menilai pembelian produk energi US$ 15 miliar dari AS akan menambah beban devisa dan pembelian produk pertanian US$ 4,5 miliar berpotensi menekan sektor pertanian domestik. Sementara itu, pembelian 50 Boeing menghantui tambahan utang maskapai nasional atau menekan arus kas BUMN penerbangan yang selama ini terus disubsidi negara.

"Tarif 19% akan menurunkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS. Sektor padat karya seperti tekstil, sepatu dan elektronik berisiko mengurangi produksi, bahkan melakukan PHK jika order AS berkurang akibat harga jual naik di pasar mereka," imbuhnya.

Tonton juga video "Badai Efisiensi Trump Mulai Hantam NASA?" di sini:

(acd/acd)

Hide Ads