Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menyebut warga kelas menengah atas Indonesia saat ini lebih memilih investasi dan cenderung menahan belanja. Hal ini dilandasi perkembangan ekonomi saat terkini.
"Kalau yang di kelas menengah atas penyebabnya misalkan mereka lebih kehati-hatian dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka belanja atau investasi," terang Alphonsus, saat peresmian 100 merek UMKM di salah satu pusat perbelanjaan, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Bertepatan dengan peresmian 100 merek UMKM di salah satu pusat perbelanjaan, Alphonsus pun menganjurkan agar usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan produk lokal bisa segera memiliki lisensi. Hal ini supaya produk lokal dan UMKM bisa masuk ke pusat perbelanjaan, karena sebanyak 95% industri pusat perbelanjaan di Indonesia didominasi untuk kelas menengah ke bawah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan konsep lisensi dan waralaba, saya kira ini akan menjadi satu peluang usaha bagi pemegang merek maupun bagi para pengusaha. Kami senang sekali kepada Bu Susan (Ketua Umum Asosiasi Lisensi Indonesia, Susanty Widjaya) yang menginisiasi hal ini gerakan ini, agar masuk ke mal-mal juga dan khususnya di kelas menengah bawah. Karena memang pusat perbelanjaan di Indonesia itu didominasi oleh kelas menengah bawah," ujar Alphonsus.
Selain itu, karakteristik pusat perbelanjaan di Indonesia ternyata didominasi oleh mal buat kelas menengah ke bawah. Sementara itu, mal untuk kalangan orang tajir hanya diisi angka 5% dari total pusat perbelanjaan yang ada di Indonesia.
"(Pusat perbelanjaan) Kelas atas itu hanya 5%. Kalau yang kita lihat itu hanya Thamrin Sudirman, Plaza Indonesia, Senayan City, Plaza Senayan itu cuma 5% jumlahnya. Dari seluruh total pusat perbelanjaan yang ada di Indonesia, 35% itu kelas menengah, 60% itu adalah kelas bawah. Jadi sebetulnya industri usaha pusat perbelanjaan Indonesia 95% didominasi oleh kelas menengah bawah," rincinya.
Dengan dampak ekonomi global, masyarakat menengah ke atas rupanya menekan angka belanja mereka. Nilai tukar rupiah, harga emas yang fluktuatif membuat mereka memilih berinvestasi ketimbang belanja.
Sementara itu, untuk kalangan kelas menengah ke bawah, cenderung mengalami penurunan daya beli. Faktor penurunan daya beli di kalangan menengah ke bawah sudah terjadi sejak 2024.
"Faktor masalah daya beli ini sudah terjadi cukup lama, sejak 2024. Jadi, stimulus ataupun insentif yang diberikan oleh pemerintah itu harus yang sifatnya langsung. Salah satunya adalah BLT (bantuan langsung tunai). Itu saya kira adalah langkah yang cukup tepat untuk bisa serta merta menaikkan daya beli masyarakat.
"Cuma yang jadi masalah, BLT ini sering disalahgunakan untuk judi online dan sebagainya. Jadi, memang harus hati-hati," tutupnya.
(eds/eds)