In This Economy, Rojali dan Rohana Berkumpul di Mal

In This Economy, Rojali dan Rohana Berkumpul di Mal

Amanda Christabel - detikFinance
Kamis, 24 Jul 2025 08:30 WIB
In This Economy, Rojali dan Rohana Berkumpul di Mal
Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Fenomena rojali atau rombongan jarang beli, dan rohana atau rombongan hanya nanya, banyak beredar di mal. Fenomena ini ditengarai karena turunnya daya beli masyarakat. Tidak cuma kalangan menengah ke bawah, orang tajir pun turut jadi bagian dalam fenomena rojali dan rohana.

Menteri Perdagangan, Budi Santoso, bilang fenomena ini bukanlah barang baru. Ia menilai, masyarakat bebas untuk memilih berbelanja di mal atau lewat toko daring (online store). Baginya, menjadi hal yang wajar kalau masyarakat datang ke mal untuk sekadar melihat-lihat terlebih dahulu, yang pada akhirnya tidak membelanjakan uangnya.

"Kita tuh bebas mau beli di online, mau beli di offline. Dari dulu fenomena itu (rojali) juga ada. Namanya orang dari dulu 'kan juga begitu. Orang mau belanja, dicek dulu, yang ingin lihat barangnya bagus atau tidak, harganya seperti apa," ujar Budi saat ditemui di acara peresmian 100 merek UMKM di salah satu pusat perbelanjaan, Jakarta, Rabu kemarin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, menyampaikan ada perbedaan faktor yang melatarbelakangi kelas menengah ke bawah dan ke atas ini masuk dalam segmentasi rojali.

Orang tajir cenderung ngerem belanja karena kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Tetapi bagi kelas menengah, rojali dan rohana membuktikan bahwa tengah terjadi penurunan daya beli di kalangan ini.

ADVERTISEMENT

"Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih ke hati-hati dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka (memilih) belanja atau investasi? 'Kan itu juga terjadi," ujar Alphonsus.

"Kemudian sekarang memang terjadi ini lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan. Makanya data APBBI menyatakan bahwa jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik, meskipun tidak signifikan," ungkapnya lanjut.

Alphonsus bilang, yang berubah adalah pola belanja masyarakat yang menjadi lebih selektif, dan hanya membeli barang yang dibutuhkan. Selain itu, konsumen cenderung membeli barang produk yang harganya murah.

"Mereka jadi lebih selektif berbelanja, kalau tidak perlu, tidak (belanja), ya. Kemudian kalaupun belanja, beli barang produk yang harga satuannya murah. Itu yang terjadi. Jadi, saya kira fenomena yang terjadi sekarang ini lebih karena daya beli masyarakat untuk yang kelas menengah bawah. Kalau yang menengah atas lebih kehati-hatian," tambahnya.

Alphonsus bilang, fenomena rojali sudah terasa sejak momen Ramadan tahun lalu. Ditandai dengan adanya daya beli yang menurun pada Ramadan 2024, dan makin terasa saat momen Idul Fitri usai.

"Kenapa? Karena Idul Fitri itu kan puncak penjualan ritel di Indonesia, peak season-nya. Nah, peak season-nya itu kemarin tidak tercapai karena masalah daya beli dan sebagainya. Pengetatan anggaran pemerintah dan sebagainya. Kemudian, di Indonesia itu setelah Idul Fitri itu 'kan pasti masuk low season. Nah, low season-nya sekarang ini tambah panjang tahun ini karena Ramadan dan Idul Fitri-nya maju. Itulah salah satu juga faktor yang menambah intensitas ataupun jumlah daripada 'rojali' tadi," tutupnya.

Beli Satu, yang Nongkrong Lima

Pengunjung melintas di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, Jumat (11/11/2022).  Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebutkan para pelaku usaha mulai menaikan biaya sewa mal dan service charge sekitar 5-10 persen mulai awal 2023 setelah selama hampir tiga tahun tidak ada kenaikan akibat lesunya perekonomian selama pandemi COVID-19. Foto: Agung Pambudhy
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Paritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan biasanya rojali dan rohana hanya sekadar membeli makanan atau minuman di mal. Itu pun hanya beli sedikit.

"Rojali biasanya kalau saya, anggota F&B, JCO atau kayak Starbucks itu sudah biasa. Minum satu yang ngumpul lima orang. Jadi, memang sekarang behaviornya konsumen itu meeting ya disana," kata Budihardjo.

Mengatasi hal itu, Budihardjo menyebut pihak ritel telah membuka toko-toko online sehingga mengikuti perkembangan zaman. Fenomena ini, lanjut Budihardjo, dapat membawa untung bagi sektor F&B di mal. Budi menyebut omzet di sektor F&B naik hingga 5-10%.

"Yang paling untung dari Rojali ini, F&B Makanya, retail F&B kami naik 5-10% (per bulan). Karena nongkrong pasti lihat, muter-muter haus minum," jelas Budihardjo.

Tonton juga video "Before-After Plaza Semanggi, Sempat Hampir Mati Kini Mulai Bangkit" di sini:

Halaman 2 dari 2
(fdl/fdl)
Hide Ads