Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka-bukaan tentang outlook tahun 2025 di mana defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diproyeksi membengkak 2,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 662 triliun.
Direktur Jenderal (Dirjen) Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, outlook tersebut disampaikan dengan pertimbangan banyaknya belanja pemerintah yang harus dipercepat eksekusinya.
"APBN kita untuk 2025 kan kemarin sudah diumumkan untuk outlooknya sampai 2025 ini kan 2,78 persen defisitnya. Itu melibatkan masih banyak sekali belanja pemerintah yang harus dieksekusi dengan lebih cepat," kata Febrio, ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selaras dengan hal tersebut, Febrio mengatakan, strategi pertama adalah pemerintah harus mempercepat belanja. Belanja tersebut khususnya untuk percepatan program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
"Jadi itu nanti akan mendukung rebound untuk semester II 2025," ujarnya.
Di samping itu, Febrio juga menyinggung tentang hasil dari negosiasi tarif dengan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Tarif 19% yang telah ditetapkan harapannya juga dapat mendukung ekonomi di semester II.
"Hasil dari trade negotiation itu berdampak positif bagi aktivitas manufaktur kita. Kalau tadinya kita sudah terancam dengan pertumbuhan yang cukup lemah di 4,7%. Dengan tarif yang lebih baik ini, kita melihat pertumbuhan ekonomi bisa rebound di atas 5% untuk paruh kedua," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan proyeksi defisit bisa membengkak hingga 2,78% pada tahun 2025 ini. Hal ini disampaikan dia langsung kepada Presiden Prabowo Subianto saat rapat di Istana Kepresidenan, Selasa (22/7/2025).
"Kami menyampaikan bahwa tahun ini 2025 outlook dari APBN akan mencapai defisit 2,78% dari PDB," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan.
Besaran defisit 2,78% setara dengan sekitar Rp 662 triliun, lebih besar dari target awal yang dipatok 2,53% atau setara Rp 616 triliun. Sri Mulyani menyebut kenaikan defisit disebabkan perkembangan penerimaan negara yang lebih kecil dibanding realisasi belanja negara.
"Itu karena dari sisi penerimaan maupun dari sisi belanja negara," jelasnya.
Tonton juga video "Sri Mulyani Sebut APBN Bulan Mei Defisit Rp 21 T" di sini:
(shc/rrd)