Kuburan Semakin Kecil, Bisnis Keluarga Hartono Semakin Besar

Kuburan Semakin Kecil, Bisnis Keluarga Hartono Semakin Besar

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Minggu, 27 Jul 2025 05:57 WIB
Victor Hartono
Victor Hartono/Foto: Shafira Cendra Arini
Jakarta -

Perjalanan keluarga konglomerat terkaya RI, Hartono, menyimpan kisah yang inspiratif. Salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia itu berangkat dari keluarga pebisnis yang sempat berkecimpung di industri minyak kacang tanah dan mercon.

Direktur Utama PT Djarum, Victor Rachmat Hartono, bercerita sudah beberapa generasi keluarganya menjalankan bisnis bersama. Sebelum menjajaki bisnis rokok, kakek moyangnya memulai bisnis dengan masuk ke industri minyak kacang tanah.

"Kita peres kacangnya jadi minyak kacang dan nanti dipakai buat masak sayur, dan lain-lain. Ini di zaman yang belum ada minyak sawit. Begitu minyak sawit keluar, minyak kacang tanah kalah saingan, jadi berkurang," kata Victor dalam acara Meet The Leaders by Universitas Paramadina di Trinity Tower, Jakarta Selatan, Sabtu kemarin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu keunggulan sawit ialah waktu tanam dan panennya, yang bisa mencapai 12 kali dalam setahun, beda dengan kacang tanah hanya 2-3 kali. Menurutnya, hal ini menjadi tanda bahwa industri yang menjadi sumber nafkah belum tentu akan bertahan dalam jangka panjang.

Victor mengatakan, bisnis minyak kacang tanah ini digarap oleh kakek buyutnya yang merupakan generasi keluarga ke-4. Lalu dari generasi ke generasi berikutnya, bisnis keluarganya terus terombang-ambing tanpa kejelasan. Uniknya, dia membandingkan kejayaan keluarganya dari ukuran makam kakek buyutnya.

ADVERTISEMENT

"Saya ini pengurus makam keluarga. Jadi saya tahu makam yang generasi keempat itu gede banget, yang pengusaha kacang. (Generasi) ke-5 makin kecil, ke-6 kok makin kecil ya. Ini nggak punya dana ini. Itu indikasi kenyataan. Real estatenya makin kecil," kelakar Victor.

Memasuki generasi ke-7, kakeknya Oei Wie Gwan memulai usaha mercon, hingga mampu mendirikan pabrik kembang api pada tahun 1927. Produk mercon tersebut dilabeli merek Cap Leo. Keluarganya memproyeksikan bisnis mercon punya prospek yang sangat baik, bahkan dalam sejarahnya di tempat lain sudah bertahan hingga ribuan tahun.

Namun nasib berkata lain. Saat Jepang masuk ke Indonesia, Belanda melakukan antisipasi dengan melarang peredaran bubuk mesiu sehingga pabriknya harus tutup. Bahkan sampai hari ini, di Indonesia nggak ada perusahaan mercon legal yang boleh buka.

Rentang tahun 1942 hingga 1951, keluarganya berusaha untuk bertahan dengan menggarap berbagai macam bisnis, termasuk sebagai kontraktor yang membangun landasan udara Ahmad Yani. Barulah pada tahun 1951, Oei Wie Gwan membeli sebuah pabrik rokok kretek kecil di Kudus.

"Keluarga kita tuh bukan tipe yang nggak punya uang banget, terus tiba-tiba punya uang. Kita tuh pelan-pelan makin makmur. Dan saya lihat kuburannya abis-abisan juga. Saya ngurus dari generasi 1 sampe generasi 6, jadi saya bisa lihat dari kualitas kuburan. Ini pelan-pelan naik, sudah berapa generasi," kata Victor.

Victor sendiri merupakan generasi ke-9 dari silsilah besar keluarga yang ia paparkan. Sedangkan dari perhitungan keluarga kakeknya, ia masuk ke dalam generasi ke-3. Ia juga cukup beruntung di mana generasi kakeknya dalam kondisi ekonomi menengah.

"Saya rasa semua orang tua mirip ya sama saya ya, yaitu keinginannya adalah generasi berikutnya lebih baik dari saya. Gitu aja kan? Manusiawinya begitu, generasi berikutnya lebih baik dari saya. So itu kejadian di keluarga saya, pelan-pelan naik," ujar Victor.

Kini, Djarum telah tumbuh menjadi salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia. Tidak hanya itu, Djarum Group juga merambah bisnis di berbagai lini, mulai dari perbankan, properti, elektronik, bahkan hingga kesehatan.

(shc/fdl)

Hide Ads