Simak! Perbedaan Hitungan Data Kemiskinan Versi Bank Dunia & BPS

Retno Ayuningrum - detikFinance
Minggu, 27 Jul 2025 16:10 WIB
Ilustrasi - Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan terdapat perbedaan angka kemiskinan oleh Bank Dunia dan BPS. Namun, perbedaan keduanya tidak saling bertentangan.

Dalam laporan 2024, Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan lebih dari 60,3% penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa.

BPS menjelaskan perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda. Bank Dunia untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu dengan menggunakan standar yang disesuaikan dengan daya beli (purchasing power parity/PPP). Jadi, data yang didapatkan menghitung standar negara upper middle income, yakni US$ 6,85 per kapita per hari

"Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03," tulis BPS dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (27/7/2025).

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3%, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar US$6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik. Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

Sementara, BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun. Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada bulan September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

"Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia," terang BPS.

Namun, BPS menilai perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang tidak memperhitungkan karakteristik individu, seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka ini tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang. Di DKI Jakarta, misalnya, garis kemiskinan per kapita pada September 2024 adalah Rp846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita) maka tidak tepat jika diasumsikan bahwa kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

"Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut," jelas BPS.

Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang. Bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu/hari bukan orang miskin.




(kil/kil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork